BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.
Untuk memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan Allah Swt. — yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia — bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakekatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk mengetahui dan memahami keberadaan dan alasan-alasan apa yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut — di samping terkait pula dengan prosedur apa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui alasan-alasan dimaksud.
Persoalan yang disebut terakhir ini tidak saja merupakan suatu hal yang penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar makna dan nilai suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan Allah betul-betul dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia sesuai dengan tujuan dari penetapan hukum tersebut.
Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah pasti mempunyai alasan-alasan tertentu dan mengandung hikmah yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut pasti terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Pandangan ini memberikan pengertian bahwa suatu ketentuan hukum itu tidaklah lahir atau ditetapkan begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mendorong keberadaannya itu. Di kalangan Ulama Ushul Fiqh, hal yang disebut terakhir ini dijadikan sebagai dasar pijakan atau landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara‘ tersebut.
Teori ke-‘illat-an hukum atau ‘illat hukum (ta‘lîl al-ahkâm) pada prinsipnya mengkaji dan membicarakan tentang apa yang menjadi ‘illat atau manâth al-hukm (مناط الحـكم), yaitu pautan hukum serta apa pula yang menjadi indikator bahwa ‘illat yang dimaksud adalah merupakan alasan yang dijadikan dasar dalam penetapan hukum tersebut. Di samping itu, bagaimana pula prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan dan menetapkan suatu ‘illat hukum serta apa-apa saja yang menjadi keriteria atau persyaratan dari suatu ‘illat tersebut. Kemudian, pembahasan tentang ‘illat hukum ini juga akan melihat eksistensi, fungsi dan hubungannya dengan tujuan pensyari’atan hukum (maqâshid al-syarî‘ah).
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan faktor-faktor pendorong untuk dilakukannya pengkajian tentang ‘illat. Artinya, dari sini akan terlihat bagaimana eksistensi dan posisi ‘illat yang dipandang sebagai faktor penentu atau alasan yang tidak dapat dipisahkan dari pensyari‘atan hukum syara‘. Bertitik tolak dari sini ulama ushul merumuskan teori ‘illat hukum yang dapat dijadikan sebagai alat dalam kegiatan istinbâth al-ahkâm (penggalian dan penetapan hukum).
Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi, posisi dan fungsi ‘illat dalam hubungannya dengan pensyari‘atan atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu ‘illat menjadi kata kunci yang sa
ngat menentukan dalam upaya untuk memahami apa yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum syara‘ tersebut.
Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya setiap ketentuan hukum ada ‘illat-nya. Tegasnya setiap perintah dan larangan syara‘ mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum), dan alasan-alasan logis itu sebagian ada yang disebutkan secara jelas dan sebahagian lain diisyaratkan saja, serta ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu. Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini, para ulama Ushul menyatakan bahwa ‘illat hukum itu selalu ada, hanya saja sebagian dari ‘illat itu tetap saja tidak dapat dijangkau oleh akal atau nalar manusia hingga sekarang, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan ibadah.
Terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dijangkau ‘illat-nya oleh nalar manusia, jumhur ulama ushul mengelompokkannya kepada urusan ta‘abbudî, dan terhadap persoalan yang disebut terakhir ini, mereka — ulama ushul — menyebutnya dengan sebab. Artinya antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang melatarbelakangi penetapannya tidak dapat diketahui hubungannya oleh akal secara jelas.
Sebagai contoh, bahwa di dalam al-Qur`an diperintahkan untuk mengerjakan shalat Zhuhur setelah tergelincirnya mata hari. Allah berfirman:
أقــم الـــصلوة لــدلـوك الشـمس. (الإسراء/١٧:٧٨)
Dirikanlah shalat (Zhuhur) ketika tergelincir matahari (QS. Al-Isrâ`/17:78)
Pandangan ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul antara yang menerima dan yang menolak hikmah dijadikan sebagai ‘illat atas penetapan hukum syara‘, karena apa yang disebut dengan hikmah itu pada dasarnya sesuatu yang samar-samar, perkiraan dan anggapan saja yang kepastiannya belum dapat diakui. Dalam hubungan ini, contoh kasus berikut ini dapat dijadikan bahan perbandingan. Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa bagi orang yang sakit dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Allah berfirman:
… فمن كان منكم مريضا أو على سـفـر…. (البقرة/٢:١٨٢)
… Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan (boleh tidak berpuasa) maka hendaklah ia perhitungkan pada hari-hari yang lainnya… (QS. Al-Baqarah/2:182)
Berdasarkan ayat di atas berlaku ketentuan hukum bolehnya orang sakit tidak berpuasa. Namun ketetapan hukum syara‘ dibolehkannya orang sakit tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tidak dapat diketahui secara pasti apa ‘illat yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pemikiran berpaling kepada hikmah yang dijadikan sebagai ‘illat yang mendorong ketetapan hukum syara‘ tersebut, yaitu untuk menghilangkan kesulitan atau apa yang disebut dengan istilah masyaqqat.
aka tidak dapat dijadikan sebagai ‘illat yang mendasari ketetapan hukum syara‘.
Bila dicermati lebih jauh, perbedaan ini tidak saja terjadi dalam melihat apa yang menjadi ‘illat dari suatu ketentuan hukum, tetapi juga dalam penyebutan atau penamaan terhadap ‘illat tersebut serta prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menetapkannya. Dan juga dalam persyaratan yang digariskan bagi eksistensi ‘illat tersebut.
Akibat dari perbedaan tersebut di atas, tampak dengan jelas pengaruh terhadap eksistensi ‘illat itu sendiri dan nilai atau warna hukum yang dihasilkan. Dengan kata lain, perbedaan seperti digambarkan di atas membawa pengaruh yang cukup luas dalam penetapan hukum syara‘. Hal ini tidak saja terlihat pada kasus-kasus yang ada nashnya, sebagaimana dicontohkan di atas, tetapi lebih-lebih lagi pada kasus–kasus baru atau masalah-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang setiap saat bermunculan sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang.
Terhadap kasus-kasus yang ada nashnya dan telah ditetapkan ketentuan hukumnya di kalangan ulama juga terdapat perbedaan dalam memahami ‘illat-nya. Misalnya kasus yang berkaitan dengan kebolehan musafir melakukan qashar shalat. Tentang qashar shalat ini terdapat dua pandangan yang berbeda dalam penetapan ‘illat-nya. Pandangan pertama mengatakan bahwa ‘illat bolehnya musafir melakukan qashar shalat tersebut adalah karena adanya kesulitan (masyaqqat). Artinya, jika tidak ada kesulitan tentu tidak ada keizinan atau dibolehkan melakukan qashar shalat bagi musafir. Sebaliknya, pandangan kedua mengatakan bahwa bolehnya musafir melakukan qashar shalat ‘illat-nya bukan “kesulitan”, tetapi safar itu sendiri.
Terkesan bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI di atas tidak tegas, karena tidak semua ulama menerima keputusan ini, sebab lebih condong mempertimbangkan nilai ekonomi meskipun persoalan kodok ini, jauh sebelumnya telah menjadi perdebatan di kalangan ulama mazhab.
Mencermati apa yang telah dipaparkan di atas, maka masalah ‘illat hukum ini sangat perlu untuk diteliti dan dikaji secara mendalam agar diperoleh gambaran yang lebih jelas terhadap eksistensinya dan fungsinya dalam pembinaan hukum. Kecuali itu, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan ulama, yang mempengaruhi corak pemikiran hukum syara‘ sudah tentu tidak dapat dipisahkan dari perbedaan pemahaman mereka tentang teori ‘illat yang berkembang dan penerapannya dalam pembinaan hukum pada setiap kurun waktu.
B. Pembatasan dan perumusan masalah
Dalam penelitian ini, sengaja membatasi kajiannya pada teori ‘illat hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metodologi penetapan hukum Islam (tharîqat Istinbâth al-Ahkâm). Kajian tentang ‘illat hukum adalah menyangkut persoalan yang sangat penting, karena ia akan membahas alasan-alasan yang melatarbelakangi lahirnya ketetapan hukum syara’.
Oleh sebab itu, agar kajian ini lebih fokus, maka yang menjadi permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah apa sebenarnya ‘illat hukum itu dan bagaimana fungsi/kedudukannya dalam pembinaan hukum syara’? Dari pertanyaan pokok ini, maka permasalahn pokok dapat dirumuskan sebagai berikut; (1) bagaimana rumusan ‘illat dan syarat-syarat yang ditetapkan baginya?; (2) prosedur apa saja yang ditempuh dalam penetapan ‘illat tersebut?; (3) apa saja yang dijadikan landasan sebagai sumber penetapan ‘illat?; (4) bagaimana fungsi dan kedudukan ‘illat dalam pembinaan hukum?
Permasalahan-permasalahan pokok yang disebutkan ini akan dikembangkan dalam pembahasan berkutnya, antara lain; (a) ‘illat dan kaitannya dengan tujuan hukum (maqâshid al-syarî’ah), (b) ‘illat dan pengembangan hukum Islam serta (c) ‘illat dan masalah-masalah kontemporer.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian.
Berpijak dari rumusan dan batasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan yang mendalam tentang eksistensi teori ‘illat dan fungsinya dalam pembinaan hukum syara‘ yang meliputi, rumusan ‘illat dan syarat-syaratnya, prosedur yang ditempuh dalam penetapannya, landasan yang menjadi pijakan dalam penetapan ‘illat, fungsi dan kedudukan ‘illat dalam pembinaan hukum syara‘, ‘illat dan kaitannya dengan tujuan hukum syara‘ (maqâshid al-syarî‘ah), ‘illat dan pengembangan hukum Islam serta ‘illat dan masalah-masalah kontemporer.
Kemudian dari segi kegunaannya penelitian ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu: pertama, secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah yang berharga bagi pengembangan ilmu hukum Islam, khususnya pada bidang kajian Ilmu Ushul Fiqh. Temuan-temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini nantinya akan dapat memberikan dorongan bagi para peneliti berikutnya untuk melahirkan teori-teori baru dalam rangka pengembangan teori hukum Islam. Lebih-lebih persoalan ‘illat hukum ini belum banyak diteliti secara mendalam dalam kaitannya dengan perkembangan hukum syara‘ dan perkembangan zaman. Sedangkan yang kedua, secara praktis bahwa hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan sumbangan pemikiran dalam upaya pembinaan hukum syara‘, terutama bagi para ulama dan para Hakim Agama selaku praktisi yang selalu berhadapan dengan berbagai persoalan hukum.
D. Tinjauan Pustaka.
Kajian yang diuraikan dalam buku ini menjelaskan persoalan ‘illat dan qiyâs. Pada bagian muqadimah dari buku ini menjelaskan masalah qiyâs dan pembagiannya, makna ‘illat dan dilâlah. Pada bagian berikutnya membahas cara mengetahui sifat ‘illat dan langkah-langkah yang ditempuh dalam penetapannya, perbedaan ‘illat dengan sabab, penetapan ‘illat dengan ijmâ‘, istidhlâl dengan ‘illat munâsabah dan pandangan ulama. Pada bagian berikutnya membahas apa saja yang dapat dijadikan ‘illat, macam-macam al-munâsabah dan batasannya, serta dalil-dalil penggunaannya, maqaşid al-syarî‘ah dan ‘illat. Pada bagian akhir ini buku ini menguraikan penggunaan hikmah sebagai ‘illat hukum.
Dalam penelitian ini Juhaya S. Praja membahas ‘illat sebagai salah satu sub bab dari Disertasinya dan menempatkannya pada bab Metodelogi Hukum Islam. Pembahasan ini mengungkapkan pandangan Ibnu Taimiyah tentang ‘illat yang meliputi pengertian ‘illat, ‘illat dan tujuan hukum serta cara-cara mengetahui ‘illat.
Dari beberapa hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas belum terlihat pembahasan atau kajian yang menjelaskan secara mendalam tentang ‘illat dalam kaitannya dengan pembinaan hukum syara‘; ter
utama yang berhubungan dengan eksistensi ‘illat dan pengembangan hukum serta keterkaitannya pula dengan masalah-masalah kontemporer yang terus muncul dari waktu ke waktu.
Pengkajian ‘illat dalam hubungannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran Ushul Fiqh. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, karena belum dibahas secara mendalam oleh peneliti-peneliti terdahulu.
E. Judul Penelitian dan Penjelasan Istilah.
Seperti telah disebutkan di muka bahwa disertasi ini diberi judul “Teori ‘illat dan Fungsinya dalam Pembinaan Hukum”. Untuk memahami maksud dari judul disertasi ini, penulis memandang perlu menjelaskan beberapa kata kunci berikut:
Berdasarkan uraian di atas, maka maksud judul disertasi yang telah dirumuskan ini, yaitu “Teori ‘Illat Dan Fungsinya Dalam Pembinaan Hukum” adalah membahas dan mengkaji secara mendalam dan konprehensip tentang konsep ‘illat baik yang berkaitan dengan rumusan dan dasar titik tolak perumusannya,syarat-syarat dan prosedur penetapannya, fungsi dan kedudukannya, landasan penetapannya, serta dan kaitannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer.
F. Metode Penelitian.
1. Jenis dan Sumber Data.
Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada tela’ah kepustakaan, maka jenis data yang dibutuhkan adalah data kualitatif yang sepenuhnya akan diperoleh dari berbagai sumber tertulis yang mengkaji masalah ‘illat hukum. Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber primer adalah akan diperoleh dari semua kitab-kitab Ushul Fiqh klasik dari berbagai Mazhab; diantaranya kitab Matn Jam‘i al-Jawâmi‘ karya ibn al-Subkî, kitab al-Mustaşfâ karya al-Ghazâlî: al-Ibhaj fî Syarh al-Minhaj karya Abd al-Kâfî al-Subkî, kitab Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhayyal wa Masâlik al-Ta‘lîl karya Imam al-Ghazâlî yang ditahqiq oleh Hammâd al-Kubaisî, kitab Irsyâd al-Fuhûl karya Muhammad al-Syaukanî; kitab al-Burhân karya Imam al-Haramain al-Juwainî; kitab Ghâyat al-Wushûl Syarh Lubb al-Ushul karya Abû Yahya Zakariyâ al-Anşârî al-Syâfi‘i dan kitab al-Muwâfaqât fi Uşûl al-Syarâ‘ah karya Abû Ishâq al-Syâtibî. Sementara itu, data sekunder akan diambil dari berbagai buku Ushul Fiqh kontemporer, diantaranya, kitab Ushûl Fiqh karya Syaikh Khudari Beik; kitab ‘Ilm Ushûl Fiqh karya Abd al-Wahhâb Khallâf; Ushûl Fiqh al-Islâmî karya Zaky al-Din Sya‘bân; Al-Wâjiz Fî Ushûl al-Fiqh karya Abd al-Karîm Zaidân; Ta‘lîl al-Ahkâm, karya Muştafâ Syalabî; Kitab Asr al-Ikhtilâf fî al-Qawâ‘id al-Ushûlîyah fî Ikhtilâf al-Fuqahâ` karya Muştafâ Sâ‘id al-Khin; Ushûl al-Fiqh al-Islâmî karya Wahbah Zuhaili; Ushûl Fiqh karya Amir Syarifuddin dan kitab Ushûl Fiqh karya Muhammad Abû Zahrah serta berbagai sumber lainnya yang mendukung penyelesaian penelitian disertasi ini.
2. Pengumpulan Data.
adalah dengan menggunakan teknik dokumenter dengan melakukan tela’ahan atas berbagai sumber dari berbagai buku teks baik klasik maupun kontemporer. Menurut Hadari Nawawi, teknik dokumenter ini sangat tepat digunakan untuk penelitian kualitatif dan sangat lazim dipakai, terutama yang berhubungan dengan buku-buku teks yang berisi pendapat-pendapat dan teori-teori yang berkembang dalam konteks sosial-historis. Untuk itu, maka teknik dokumenter ini sangat tepat digunakan dalam rangka pengumpulan data untuk meneliti Teori ‘illat dan Fungsinya dalam Pembinaan Hukum Syara‘, karena keseluruhannya terkait dengan berbagai pendapat, pandangan dan teori-teori yang terdapat di dalam berbagai literatur dan buku-buku teks.
3. Analisa Data.
Setelah semua data dihimpun, lalu diklasifikasikan dan dikelompokkan berdasarkan kategori masalah, kemudian dianalisa dengan pendekatan content analysis (analisa isi) dan komparatif. Pendekatan content analysis dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah menela’ah dan menganalisa pandangan atau pendapat baik yang menyangkut kerangka epistimologi, ontologi maupun aksiologi dari teori ‘illat yang terdapat dalam berbagai sumber yang telah ditulis oleh berbagai tokoh atau pakar Hukum Islam. Kemudian penggunaan pendekatan komparatif adalah karena teori ‘illat hukum ini juga terkait dengan berbagai pendapat para pakar Ushul Fiqh — yang mana antara satu dengan yang lainnya tidak luput dari perbedaan-perbedaan pendapat. Untuk mendapatkan kejelasan dan pemahaman komprehensif, maka membandingkan diantara pemikiran yang berbeda-beda itu adalah sangat tepat dan sangat diperlukan. Lebih-lebih persoalan ‘illat hukum ini tidak bisa lepas dari perbedaan pendapat di kalangan Ulama Ushul Fiqh. Selanjutnya, hasil penelitian akan ditulis secara deskriftif kualitatif.
G. Sistematika Penulisan.
Dalam sistematika penulisan disertasi ini, penulis ingin menggambar-kan pola dan alur pemikiran secara sistematis dengan mengelompokannya kepada bab-bab dan sub-sub bab berdasarkan pokok/rumusan dan batasan masalah. Pengelompokan kepada bab-bab dan sub-sub bab tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan persoalan ‘illat hukum sebagai latarbelakang pemikiran dengan merumuskan beberapa masalah pokok yang menjadi bahasan utama dalam disertasi ini. Pada bab pendahuluan ini, disamping mengemukakan tujuan penelitian, juga menjelaskan metodologi dan langkah-langkah yang ditempuh serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab II menjelaskan teori-teori pembinaan hukum. Pada bab ini diuraikan berbagai teori yang digunakan oleh para mujtahid dalam rangka pembinaan hukum. Teori-teori tersebut meliputi teori bayânî, qiyâsi dan istishlâhi. Ketiga teori ini merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya dengan pembinaan hukum.
Bab III berbicara rumusan teori-teori ‘illat hukum. Pada bab ini pembicaraan berkisar pada berbagai rumusan dan pengertian ‘illat hukum serta perkembangan pemikiran tentang ‘illat. Perbedaan ‘illat dan sebab, pembagian ‘illat dan syarat-syaratnya.
Bab IV menjelaskan prosedur penetapan ‘illat hukum. Pembahasan pada bab ini meliputi langkah-langkah yang ditempuh dalam menetapkan ‘illat, landasan penetapan ‘illat, eksistensi dan kedudukan ‘illat dalam pembinaan hukum.
Bab V menguraikan ‘illat dan relevansinya dalam pembinaan hukum. Pembahasan dalam bab ini meliputi ‘illat dan hubungannya dengan maqâshid al-syarî‘ah, ‘illat dan pengembangan hukum Islam serta ‘illat hukum dan masalah-masalah kontemporer.
Bab VI adalah merupakan bab penutup yang menggambarkan hasil akhir atau kesimpulan dari penelitian ini dan beberapa saran yang dipandang perlu untuk menjadi perhatian bagi lembaga/institusi yang berwenang.