in

TEORI BELAJAR KONSTRUKTIVISME (makalah lengkap)

TEORI BELAJAR
KONSTRUKTIVISME
(Interaksi
Pembelajaran
, Peran Guru dan Peserta Didik)
A. Interaksi Pembelajaran dalam Tinjauan
Konstruktivisme

Pengkajian ilmiah tentang belajar yang telah berlangsung
lebih dari 100 tahun, dipandang relatif masih terlalu singkat untuk
menghasilkan kesimpulan komprehensif mengenai bagaimana manusia belajar.
Beragam jawaban dengan sudut pandang berbeda telah mengemuka untuk
mendeskripsikan belajar. Behaviorisme dengan penekanannya pada stimulus-respon
dan Kognitivisme yang menempatkan kemampuan internal memahami objek secara
holistik melalui persepsi yang terorganisir, telah memberi kontribusi dalam
menjelaskan fenomena belajar (Zais, 1976; 178: Atkinson, et.all., tt; 420).
Meskipun demikian, hakikat belajar dan proses yang terjadi di dalamnya, masih
menyisakan misteri dan menjadi daya tarik tersendiri untuk dikaji lebih lanjut.

Dalam dua dekade terakhir, khususnya sejak tahun 80-an,
salah satu teori belajar yang cukup mendapat perhatian adalah konstruktivisme
(Suparno, 1997; 3: Baharuddin dan Wahyuni, 2008; 115). Konstruktivisme muncul
sebagai tanggapan dan pengembangan terhadap Behaviorisme, yang bertumpu pada
filsafat positivistik yang mereduksi belajar menjadi mekanistik.
Konstruktivisme sebaliknya, memposisikan belajar yang lebih mengedepankan
aktivitas peserta didik dalam setiap interaksi edukatif untuk melakukan
eksplorasi dan menemukan pengetahuannya sendiri. Konstruktivisme termasuk dalam
mazhab psikologi kognitif yang secara teoritik menekankan kemampuan peserta
didik untuk berperan aktif menemukan ilmu baru (Khaerudin, 2007; 197).

            Konstruktivisme
muncul mengisi ruang yang belum mendapat tempat dalam teori belajar
Behaviorisme. Melalui serangkaian eksperimen yang dilakukannya, John B. Watson,
Ivan Pavlov, Thorndike, Skinner, dkk., telah memberi kontribusi signifikan
dalam memahami kompleksitas belajar (Hergenhahn, 2008; 178). Namun, sebagaimana
banyak dikemukakan kritisi dalam beberapa dekade terakhir, penekanan
Behaviorisme pada aspek eksternal dalam pembelajaran sebagaimana tergambar
dalam teori stimulus-respon dengan berbagai variannya, telah mengesampingkan
aspek internal atau keterlibatan mental dalam aktivitas belajar (Alloy,
et.all., 2004; 78).

            Sehubungan dengan
hal tersebut, Konstruktivisme muncul sebagai upaya untuk memberi alternatif
terhadap Behaviorisme, dengan menempatkan peranan aspek mental peserta didik
dalam mengkonstruk atau menyusun pengetahuannya secara berkelanjutan.
Konstruktivisme bertumpu pada konsep belajar yang mengakui adanya pentahapan
dalam pengembangan pengetahuan. Konstruktivisme, sebagaimana dikemukakan Wina
Sanjaya, menganggap belajar sebagai “…proses mengkonstruksi pengetahuan melalui
pengalaman.  Pengetahuan bukanlah
pemberian orang lain, seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu” (2008; 246). Belajar tidaklah
sesederhana yang nampak dipermukaan saja. Perilaku yang nampak sebagai
manifestasi belajar, hanyalah merupakan puncak gunung es, yang sejatinya
melibatkan faktor-faktor mental yang kompleks yang tidak dengan serta merta
dapat diamati.

             Dalam perkembangannya, konstruktivisme telah
di maknai secara beragam. James. M. Applefield, Richard Huber & Mahnaz
Moallem, dalam “Constructivism in Theory and Practice: Toward A Better Understanding” mengungkapkan:

…the term constructivism most probably is derived from Piaget’s
reference to his views as “constructivist” (Gruber & Voneche, 1977), as
well as from Bruner’s description of discovery learning as “constuctionist”
(1966). Other terms are also used to refer to constructivist views of learning,
including: generative learning (Wittrock, 1985; situated learning and authentic
instruction (Brown, Collins, & Duguid, 1989), postmodern curricula (Hlynka,
1991); and educational semiotic (Cunningham, 1992). Even though constructivists
cannot be adequately represented by a single voice or an entirely universal
point of view, there is a conception of learner and learning that is
unmistakable in its central tenets and in its divergence from an objectivist
tradition of learning theory based on either behaviorism (associationistic
models of learning) or cognitivism (the cognitive science of information
processing representations of learning) (tt; 3).
            Dalam perkembangan
mazhab konstruktivis, beberapa tokoh telah 
memberi sumbangsih besar dalam meletakkan fondasi terhadap teori belajar
ini. Di antaranya; Giambattista Vico, Max
Baldwin, Jean Piaget, Lev Vygotsky, Jerome Bruner, Herbert Simon, Paul Watzlawick, Ernst von Glasersfeld, dan Edgar Morin (Suparno, 1997). Namun, yang dipandang
memberi kontribusi paling signifikan terhadap perkembangan mazhab ini adalah
Jean Piaget dan Vigotsky.  Jean Piaget
(1896-1980), yang dikenal dengan studinya yang mendalam mengenai taraf
perkembangan kognisi anak, merupakan tokoh kunci yang dipandang memberi
kontribusi penting terhadap konstruktivisme. Piaget, pada tahun 1918, dalam
usia 21 tahun, mendapat gelar doktor bidang sains dari University of Neuchatel,
Swiss. Kontribusinya dalam psikologi, mendapat reputasi internasional, dengan
dianugerahkannya gelar Doktor Honouris
Causa
  dari Universitas Harvard,
Amerika Serikat tahun1936, Universitas Sorbone, Prancis tahun 1946, Universitas
Brussel dan University of Brazil tahun 1947 (Boeroe, 2008; 272). Studi intensif
Piaget mengenai perkembangan moral dan kognitif anak menjadi rujukan sampai
saat ini.  

            Dalam mengembangkan teori perkembangan moral dan
kognisi, Piaget melakukan sejumlah eksperimen dan observasi mendalam terhadap
anak, terutama pada anak-anaknya sendiri. Di antara karya paling penting dari
sekian banyak karyanya, menurut penelusuran C. George Boeroe (2008; 280)  adalah The Moral Judgment of the Child (1932),
The Psychology of  Inteiligence (1947,
versi Inggris 1950), The Construction of Reality The Child (1937, versi
Inggris 1954. Buku ini didasarkan pada penelitian yang dia lakukan terhadap anak-anaknya
sendiri), The Growth of Logical Thinking from Childhood to Adolescence (dengan
Inhelder, 1958), The Psychology of the Child (dengan Inhelder,
1966,  edisi Inggris 1969), Insights
and Illusions of Philosophy
(1965, versi Inggris 1971).

            Selain itu, tokoh
yang juga meletakkan fondasi Konstruktivisme adalah ilmuwan Rusia, yang dikenal
dengan kajiannya mengenai teori psikologi sosial, Lev Semenovich Vygotsky (17
November 1896–11
Juni 1934). Vigotsky
menyelesaikan pendidikannya di Universitas Moskow tahun 1917, yang kemudian
dilanjutkan dengan  menekuni secara
intensif psikologi di Institut Psikologi Moskow sejak tahun 1923 sampai 1924.
Hingga tahun 60-an, pemikirannya tidak dikenal di Barat, meskipun di Rusia,
pemikiran-pemikiran cemerlangnya memberi pengaruh signifikan terhadap kajian
psikologi. Hal ini tidak terlepas dari peran aktif kelompok studi yang terdiri
dari mahasiswa Vygotsky, yang mengkaji dan menyebarkan gagasannya ke seantero
Rusia. Vigotsky dan pemikirannya baru dikenal di Barat  setelah karyanya Thought and Language (1934), diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris tahun 1962, yang edisi revisinya kemudian diterbitkan tahun 1986.
Selain itu, bukunya  Thinking
and Speech
yang diterjemahkan N. Minick diterbitkan tahun 1987.
Sebelumnya, tahun 1978, kompilasi karyanya diterbitkan dengan judul Mind
in Society: The Development of Higher Psychological Processes
(www. Wikipedia/vigotsky, 2008).
Vigotsky, menekankan pentingnya lingkungan sosial dalam belajar.

            Konstruktivisme beranggapan
bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi
pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman,
dan lingkungan. Bagi konstruktivis, pengetahuan tidak ditransfer dari seseorang
kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing
orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang
berkembang terus menerus. Dalam proses itu, keaktifan seseorang yang ingin tahu
memainkan peran dalam perkembangan pengetahuannya (Suparno, 1997; 29).  Sehingga,
belajar merupakan proses aktif pelajar merekonstruksi arti teks, dialog,
pengalaman fisis, dan lain-lain.

            Belajar merupakan proses mengasimilasikan dan
menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang
sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Dalam perspektif ini, peserta didik membangun skema pemahamannya
terhadap berbagai fakta yang mengitarinya secara bertahap. Dalam proses ini,
peserta didik dipandang sebagai individu yang dinamis yang membangun pemahaman
secara berkelanjutan (Jones & Araje, 2002; 4). Peserta didik tidaklah dapat
disamakan dengan mesin yang akan memberikan respon secara mekanistis terhadap
stimulus yang diberikan, sebagaimana pandangan behaviorisme. Piaget
berpendapat, bahwa sejak kecil setiap anak sudah memiliki struktur kognitif
yang kemudian dinamakan “skema”. Skema terbentuk karena pengalaman. Semakin
dewasa anak, semakin sempurna pula skema yang dimilikinya. Proses penyempurnaan
skema dilakukan melalui proses asimilasi dan akomodasi. Asimilasi adalah proses
penyempurnaan skema; dan akomodasi adalah proses mengubah skema yang sudah ada
hingga terbentuk skema baru. Semua itu—asimilasi dan akomodasi—terbentuk berkat
pengalaman siswa (Sanjaya, 2007; 257).
Menurut penelusuran Paul Suparno, belajar dalam perspektif Konstruktivisme
mempunyai karakteristik sebagai berikut;

1.       
Belajar berarti membentuk
makna.
Makna diciptakan oleh siswa dan apa yang mereka lihat,
dengar, rasakan, dan alami.
2.       
Konstruksi adalah proses yang terus-menerus. Setiap kali
berhadapan dengan fenomen atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik
secara kuat maupun lemah.
3.       
Belajar bukanlah kegiatan mengumpulkan fakta, melainkan
lebih suatu pengembanganpemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar
bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri,
suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran
seseorang.
4.       
Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema
seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut. Situasi
ketidakseimbangan (disequilibrium)
adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5.       
Belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan
lingkungannya.
6.       
Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah
diketahui si pelajar: konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi
interaksi dengan bahan yang dipelajari (1997; 61).
            Pembelajaran menurut konstruktivisme, menempatkan keterlibatan aktif
peserta didik dalam menerima dan mengolah informasi, serta memberi makna.
Pembelajaran konstruktivis menganut prinsip sebagai berikut;
1)       
Learning is an active process in which the learner
uses sensory input and constructs meaning out of it.
2)       
People learn to learn as they learn: learning consists
both of constructing meaning and constructing systems of meaning.
3)       
The crucial action of constructing meaning is mental:
it happens in the mind
4)       
Learning involves language: the language we use
influences learning.
5)       
Learning is a social activity:
6)       
Learning is contextual: we learn in relationship to
what else we know, what we believe, our prejudices and our fears.
7)       
One needs knowledge to learn: it is’nt possible to
assimilate new knowledge without having some structure developed from previous
knowledge to build on.
8)       
It takes time to learn: learning is not instantaneous.
9)       
Motivation is a key component in learning. Not only is
it the case that motivation helps learning, it is essential for learning .
B. Peran Guru dan Peserta Didik dalam Perspektif
Konstruktivisme

Pada hakikatnya, dalam interaksi pembelajaran terlibat
banyak hal. Guru dan peserta didik merupakan 2 unsur penting dalam proses ini,
meskipun tidak dapat dinafikan, di samping itu keberadaan tujuan, materi,
fasilitas, lingkungan dan peran pihak yang lain juga tidak mungkin dapat
diabaikan. Namun, mengingat ruang yang tersedia sangat terbatas, dan menyadari
signifikansi kedua subjek ini dalam pembelajaran, maka hanya dua hal ini saja yang
dalam kesempatan ini dapat disajikan. 

Sebagaimana
dikemukakan, konstruktivisme memandang belajar sebagai suatu proses organik
untuk menemukan sesuatu, bukan suatu proses mekanik untuk mengumpullan fakta.
Belajar ditempatkan sebagai suatu perkembangan pemikiran dengan membuat
kerangka pengertian yang berbeda. Pelajar harus punya pengalaman dengan membuat
hipotesis, mengetes hipotesis, niemanipulasi objek, rnemecahkan persoalan,
mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan
pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi
yang baru. Pelajar harus membentuk pengetahuan mereka sendiri, dan guru
membantu sebagai mediator dalam proses pembentukan itu. Belajar terjadi melalui
refleksi, pemecahan konflik pengertian, dan dalam proses selalu rnemperbarui
tingkat pemikiran yang tidak lengkap (Suparno, 1997; 69, Hergenhahn&Olson,
2008; 320).

Sehubungan dengan hal tersebut, kedudukan guru tidak
lain sebagai
mediator
dan fasilitator yang membantu agar proses belajar murid berjalan dengan baik.
Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin atau pun guru yang
mengajar. Fungsi mediator dan fasilitator ini, sebagaimana dikemukakan Paul
Suparno, dijabarkan sebagai berikut.

1.    Menyediakan
pengalaman belajar yang memungkinkan murid bertanggung jawab dalam membuat
rancangan, proses, dan penelitian. Karena itu, memberi kuliah atau ceramah
bukanlah tugas utama seorang guru.
2.    Menyediakan
atau memberikan kegiatan-kegiatan yang merangsang keingintahuan peserta didik
dan membantu mereka mengekspresikan gagasan-gagasannya dan mengkomunikasikan
ide ilmiah mereka. Menyediakan sarana yang merangsang siswa berpikir Secara
produktif. Menyediakan kesempatan dan pengalaman yang paling mendukung proses
belajar siswa. Guru harus menyemangati siswa. Guru perlu menyediakan pengalaman
konflik.
3.    Memonitor,
mengevaluasi, dan menunjukkan apakah pemikiran si murid jalan atau tidak. Guru
menunjukkan dan mempertanyakan apakah pengetahuan murid itu berlaku untuk
menghadapi persoalan barn yang berkaitan. Guru membantu mengevaluasi hipotesis
dan kesimpulan murid (Suparno, 1997; 72).

            Sementara itu,
peserta didik dalam perspektif konstruktivis dipandang sebagai individu yang
sedang berkembang. Artinya, keunikan dan kemampuan peserta didik untuk
melakukan berbagai inovasi dimungkinkan. Peserta didik tidaklah diposisikan
sebagai objek, yang hanya berfungsi menerima transfer pengetahuan dan
pengalaman dari guru. Sebaliknya, pengalaman peserta didik untuk mengkonstruksi
pengalamannya secara berkelanjutan diapresiasi secara proporsional. Roland G.
Tharp., dkk., dalam Teaching Transformed:
Achieving Excellence, Fairness, Inclusion, and Harmony
mengemukakan bahwa
sesungguhnya di sekolah, juga dalam kehidupan sehari-hari, peserta didik lebih
banyak belajar dibandingkan dengan apa yang diajarkan (in school, as in life, more is learned than is thaught) (2000;
70).  Ini mengisyaratkan bahwa belajar
sebenarnya memberi ruang besar kepada peserta didik untuk mengkonstruksi
pengetahuan dan pemahamannya sendiri, sedangkan guru lebih berperan sebagai
pembimbing yang memandu peserta didik menemukan dan mengembangkan kapasitas
dirinya. Dalam kenyataannya, peserta didik dapat belajar dari pengalaman, rekan
sejawat, teman sepermainan dan lingkungan yang mengitarinya. Faktor sosial
tidak dapat dinafikan telah turut memberi kontribusi dalam membentuk pemahaman
peserta didik terhadap berbagai hal yang mengitari kesehariannya (Budiningsih,
2005; 100).

Ozmon H A dan
Craver S M ( 1990 ). Philosophical Foundations od Education.    Toronto: Merrill Publishing Company.

Silberman , M L,
( 2006 ). Active Learning ( terjemahan), Boston, Allyn and Bacon.

Emzir (2008), Metodologi Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif,
Jakarta : Rajawali Press.
Chauhan,S.S., (1979) Innovation in Teaching and Learning Process.
New Delhi : Vikas Publishing House PVT.LTD.
Cohen, Louis and Lawrence Manion (1994), Research Methods in Education,
Forth edition
, Canada : Rotledge.
Dahar, Ratna Wilis, (1996). Teori-teori
Belajar
, Jakarta : Erlangga.

Deporter, Bobbi
et. Al. (1999 ). Quantum teaching. Boston Allyn and Bacon.

Fenstermacher, Gary D (1086), Philosophy of Research on Teaching, in
Handbook of Research on Teaching
, Third Edition, ed. Merlin C. Witrock,
Canada : Mcmillan Publishing.
Gall, Meredith D, at. All, Educational Research an Introduction, seventh
edition
, Boston : Pearson Education. Inc
Hermawan, Asep Hery, dkk 2008), Teori Mengajar dalam Ilmu dan Aplikasi
Pendidikan, ed. Muhammad Ali dkk, Bandung : Pedagodiana Press.

Hellmut R.L dan David N. E ( 2006 ). Models,
Strategies, and Methods for effective Teaching. Bostom: Pearson Education, Inc

Herbert J. Klausmeier ( 1980 ). Learning and Teaching
Concepts. New York: Academic  Press, Inc.

Lapp, Diane, at all (1975), Teaching
and Learning : Philosophical, Psychological, Cultural Application,
Newyork
: Mcmillan Publishing. Co. inc.
Sanjaya, Wina (2008), Kurikulum dan
Pembelajaran
. Bandung : Alpabeta.

Ashtiani, Ali Asthiani, et ell (2007), Comparison Cooperative Learning and           Tradisional      Learning in Academic Achievement. Tersedia [on-line]

Arends, Richard II. 
(2004). Learning to Teach. New
York: Mc Graw Hill.

Budiningsih, (2005), Belajar
dan Pembelajaran
, Jakarta, Reneka Cipta.

Darajat, Zakiah. (1995), Metode Khusus Pengajaran Agama Islam, Cet. II. Jakarta
: Sinar Grafika Offset.
 Dahlan. (1984), Model-Model Mengajar Beberapa Alternatif
Interaksi Belajar Mengajar)
. Bandung : 
Diponegoro.

Departemen Pendidikan Nasional (2003), Kurikulum 2004, Standar Kompetensi Mata
Pelajaran Pendidikan Agama Islam Sekolah Menengah Atas (SMA) dan Madrasah
Aliyah (MA).
Jakarta.

Lie, Anita. (2005). 
Cooperative Learning Mempraktikkan
Cooperative Learning di Ruang-Ruang Kelas
.
Jakarta : Grasindo.
Mustaji, & Sugiarso.
(2005). Pembelajaran Berbasis
Konstruktivistik
. Surabaya: Unesa University Press.

Munir,
(2008).  Kurikulum Berbasis Kompetensi Teknologi
Informasi dan
Komunikasi, Bandung :
Al-Fabeta.

Muhaimin (2007), Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama
Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi.
Jakarta : Raja Grafindo
Persada.
 Muhaimin, at all.(2008), Pengembangan Model kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) pada
sekolah dan Madrasah.
Raja Grafindo Persada : Jakarta.
Muhaimin, (2009) Rekonstruksi Pendidikan Islam; dari
Paradigma Pengembangan, Managemen Kelembagaan, Kurikulum hingga Strategi
Pembelajaran.
 Raja Grafindo Persada : Jakarta.

Syaodih,
Nana. (2005). Landasan
Psikologis Proses Pendidikan
, Bandung : Rosdakarya.

Syaodih,
Erliany (Disertasi ; 2007), Pengembangan
Model Pembelajaran Kooperatif untuk Meningkatkan Keterampilan Sosial; Studi
pada Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di Sekolah Dasar.
Bandung :
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)
Sanjaya,
Wina. (2007). Strategi Pembelajaran
Berorientasi Standar Proses Pendidikan.
Jakarta: Kencana

Slavin, Robert E. (1990) Cooperative Learning; Theory, Research and Practice, Second Edition.
Boston : Allyn and Bacon.

Slavin, Robert E. (1990) Cooperative Learning; Theory, Research and Practice, Second Edition.
Boston : Allyn and Bacon. Diterjemahkan oleh Zubaidi (2009) menjadi Cooperative Learning; Teori, Riset dan
Praktik. Bandung : Nusa Media.

Slavin, Robert. E. (1997). Educational Psychology Theory and Practice. Five Edition. Boston:
Allyn and Bacon

Slavin, Robert E. et.ell (1995) The Cooperative Elementary School: Effects on        Students’Achievement,
Attitudes, and Social Relations
Slavin, Robert E. et.ell (1988), Accommodating Student Diversity in Reading and   Writing Instruction: a Cooperative Learning Approach.

Solihatin, E. dan Raharjo. (2007). Cooperative Learning Analisis Model
Pembelajaran IPS
.  Jakarta : PT. Bumi
Aksara.

Stahl.R.J. (1994). Cooperative Learning in Social Studies: Hand Book for Teachers.
USA: Kane Publishing Service, Inc.

Suparno, Paul (1997), 
Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta : Kanisius.

Sumantri, Mulyani dan  Nana Syaodih, (2007)  Perkembangan Peserta didik, Jakarta
: Universitas Terbuka.

Related Posts:

LANDASAN TEORITIS DAN SOSIOLOGIS DALAM PENGEMBANGAN KURIKULUM PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

Metode Pendidikan Agama Islam (makalah lengkap)