in

RUJUK KEPADA KEBENARAN ADALAH CIRI AHLUS SUNAH

14 April 2009 | Dilihat 1,785 kali | Kirim Ke Teman
|

Berikut ini adalah pernyataan rujuknya para asatidzah dari
kesalahan masa lalu ketika masih terlibat dalam Laskar Jihad. Pernyataan
ini juga sekaligus sebagai bantahan syubhat para hizbiyun (termasuk
Wahdah Islamiyah) yang senantiasa menggunakan dalil tentang bentuk
kesalahan yang dilakukan para salafiyyin pada masa lalu ketika
berkecimpung di dalam Laskar Jihad. Ini juga menjadi salah satu bukti
bahwa Rujuk kepada Kebenaran adalah jalannya para
salafush shalih dari generasi sahabat, tabi’in, tabi’ut-tabi’in, dan
orang-orang yang mengikuti mereka dengan istiqomah hingga hari ini. Bukanlah
termasuk para pengikut salaf jika sudah sampai kepadanya sebuah
kebenaran kemudian masih ada jalan lain untuk mengelak dari kebenaran
tersebut dengan alasan toleransi, muwazanah (manhaj timbangan), dan
jalan lain yang berusaha dibuat-buat untuk dijadikan sebagai “lahan”
dakwah bagi organisasinya (MAYORITAS untuk KOMUNITAS). Allahu musta’an.
================
Dakwah Salafiyah sejak dulu tidak pernah terikat dengan pribadi
manapun kecuali Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam. Dakwah
Salafiyah juga tidak pernah terikat dengan organisasi apapun. Dakwah ini
hanya terikat dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah diatas pemahaman para
shahabat Radiyallahu ‘Anhum dan seluruh Salafush Shalih yang dibawa para
Ulama Ahlus Sunnah. Pengikut dakwah Salaf Ahlus Sunnah wal Jama’ah
adalah orang-orang yang paling bersemangat untuk mengkaji ilmu dan
mengamalkannya di atas sumber-sumber tersebut. Karena itu, mereka
senantiasa berjalan di atas ilmu dan bimbingan para ulama.
Namun para Salafiyyun (pengikut dakwah Salafiyah) bukanlah orang-orang yang ma’shum
yang terbebas dari kesalahan. Mereka sangat mungkin untuk tergelincir
ke dalam berbagai kesalahan dan penyimpangan. Dan sebagai realisasi dari
sikap tunduk mereka di hadapan kebenaran, setiap terjadi penyimpangan
dari jalan yang lurus atau penentangan terhadap ulama, segeralah mereka
saling mengingatkan dan meluruskannya. Sehingga kritik, koreksi, teguran
atau bantahan ilmiah adalah sesuatu yang sangat wajar dalam sejarah
perjalanan dakwah ini. Sebaliknya, sikap taqlid, membebek dan
ikut-ikutan sama sekali tidak dikenal oleh Ahlus Sunnah dan Salafiyyun.
Hidupnya budaya kritik ilmiah akan memperlihatkan siapa yang
benar-benar berdiri sebagai Ahlus Sunnah dan siapa yang hanya
ikut-ikutan. Bagi mereka yang menolak kritik dan tidak mau rujuk kepada
kebenaran, maka mereka adalah pengikut hawa nafsu atau ahlul ahwa. Bagi Ahlus Sunnah, teguran dan kritik akan segera membawa kembali kepada al-haq. Sedangkan pengikut hawa
nafsu, mereka akan menentang ilmu dan nasehat ulama dengan berbagai
alasan. Mereka berani menarik-narik makna ayat dan hadits agar mencocoki
hawa nafsu, bahkan berani mencela para ulama agar ditolak fatwanya
.
Dengan prinsip ini, maka kami membuat pernyataan rujuk kepada
kebenaran dan kembali kepada prinsip dakwah Salafiyyah setelah kami
mengalami berbagai ketergelinciran. Yaitu saat kami menjalani jihad di
Ambon dan Poso, karena dalam jihad tersebut kami banyak terjatuh pada
penyimpangan-penyimpangan yang sifatnya politis ataupun
penyimpangan-penyimpangan lain yang tidak sejalan dengan Manhaj Salaf.
Tanpa terasa kami terjerumus ke dalam berbagai penyimpangan yang
bermuara pada satu titik yaitu politik massa atau penggunaan potensi
massa dalam perjuangan. Sungguh kesesatan seprti inilah yang terjadi
pada Ahlul Bid’ah dan Hizbiyyun dari kalangan Ikhwanul Muslimin,
Quthbiyyin (pengikut Sayyid Quthb) dan Sururiyyin (Pengikut Muhammad
Surur) dan lain-lain. Dengan penyimpangan yang kami jalani saat itu,
muncullah tindakan-tindakan persis seperti yang dilakukan Ikhwanul
Muslimin, diantaranya :

  1. Sistem komando yang meluas menjadi organisasi yang digerakkan dengan sistem imarah dan bai’at.
  2. Leih mementingkan kuantitas (jumlah) daripada kualitas dalam organisasi.
  3. Demonstrasi, unjuk rasa dan yang sejenisnya menjadi hal yang biasa.
  4. Mencari dukungan politis dari berbagai kelompok dengan tidak
    memperhatikan apakah mereka Ahlus Sunnah, orang awam atau Ahlul Bid’ah
  5. Dari sinilah timbul ide untuk mengadakan Musyawarah Kerja Nasional
    (Mukernas) dengan mengundang tokoh-tokoh politik dan Ahlul Bid’ah.
  6. Mulai menggampangkan dusta dengan dalih bahwa perang adalah tipu daya.
  7. Bermudah-mudahan dalam maksiat seperti photografi dan ikhtilath karena mengimbangi orang awam.
  8. Mengingkari kemungkaran dengan menggunakan gerakan massa dan
    kekerasan, yang akhirnya jatuh ke dalam kesalahan berikutnya yaitu :

    • Menghalalkan darah kaum muslmin.
    • Melawan aparat atau pemerintah yang sah
    • Dan seterusnya.

Kemudian datanglah teguran dari para ulama dengan harapan agar kami
kembali kepada Manhaj Salaf dalam dakwah dan jihad serta membubarkan
diri dari Forum Komunikasi Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (FKAWJ) dan Laskar Jihadnya
(LJ). Maka karena kami memulai Jihad ini dengan bimbingan para, maka
saat harus membubarkan diri juga harus dengan bimbingan para ulama.
Tidak cukup hanya dengan membubarkan diri dan meniggalkan
penyimpangan-penyimpangan yang kami telah terjerumus padanya, namun kami
mempunyai kewajiban untuk menerangkan kepada masyarakat bahwa apa yang
kamil lakukan dulu bukan dari Manhaj Salaf. Karena ketika itu kita
mengibarkan bendera Dakwah Salafiyyah dan Ahlus Sunnah, maka kami
khawatir penyimpangan-penyimpangan tersebut dianggap oleh sebagian
masyarakat sebagai bagian dari Dakwah Salafiyyah Ahlus Sunnah wal
Jama’ah. Inilah sesungguhnya yang paling penting !
Untuk itulah saya, sebagai salah satu (mantan) dari Dewan Ustadz di
FKAWJ yang membawahi LJ, menerjemahkan buku yang berjudul Al-Wardu
Maqtuf fi Wujubi Tha’ati Wulati Amril Muslimin Bil Ma’ruf yang ditulis
oleh Syaikh Abu Abdirrahman Fauzi Al-Atsari(*) yang
berisi tentang bagaimana seharusnya seorang Salafy Ahlus Sunnah
bersikap kepada penguasanya. Ini merupakan salah satu sikap rujuk kami.
Di dalam buku ini dimuat prinsip-prinsip Ahlus Sunnah yang berkaitan
dengan tata cara memberi nasehat dan beramar ma’ruf nahi mungkar kepada
penguasa. Juga diterangkan tentang kewajiban taat kepada penguasa selama
perintahnya bukan berupa kemaksiatan. Mudah-mudahan dengan ini kita
telah melaksanakan kewajiban yang Allah perintahkan kepada orang yang
terjatuh dalam kesalahan dan penyimpangan, sebagaimana firman-Nya.
“Kecuali jika mereka bertaubat, memperbaiki, dan menerangkan maka mereka itu Aku akan mengampuninya” (Al-Baqarah : 160)
Dengan demikian apa yang telah kami lakukan, yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip Manhaj Salaf, kami bertaubat kepada Allah dan
menyatakan dengan tegas bahwa itu bukan Manhaj Ahlus Sunnah, tetapi
kekeliruan dan ketergelinciran kami. Hujjah tetap pada Al-Quran dan
As-Sunnah, bukan pada apa yang dilakukan oleh FKAWJ atau LJ atau
siapapun yang mengaku sebagai Ahlus Sunnah.
Akhirnya, kami berharap kepada Allah agar mengampuni kita semua.
Menerima amal ibadah dan jihad kita dan membalasnya dengan
kebaikan-kebaikan dan jannah. Juga kami memohon maaf kepada semua pihak
dari kaum muslimin umumnya dan Salafiyyin khususnya atas kesalahan kami
pada masa itu.
Muhammad Umar As-Sewed
Sumber : Muqaddimah Meredam Amarah terhadap Pemerintah, terbitan Pustaka Sumayyah, Cetakan Pertama, Muharram 1427
H/Februari 2006

*) Catatan Penting
Pernyataan taubat ini sesungguhnya telah lama saya tulis, namun sayang
sekali karena satu dan lain hal buku yang memuat taubat tersebut tak
kunjung
diterbitkan oleh Maktabah Salafy Press, sampai dengan tutupnya penerbit Maktabah Salafy Press.
Alhamdulillah, buku tersebut akhirnya diterbitkan oleh Pustaka
Sumayyah. Namun sangat disayangkan kembali terlambatnya penerbitan buku
terjemah ini
sampai pada waktu penulisnya (Syaikh Fauzi Al Atsary) mendapatkan
teguran dari syaikh Rabi’ ibn Hadi al Madkhali, (dari Sahab.net).
Mengingat buku ini adalah buku yang bagus dan dipuji syaikh Shalih
bin Fauzan Al Fauzan dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat kaum muslimin
secara
umum dan khususnya orang-orang yang sedang berupaya menelusuri jejak
Sunnah, maka saya menerjemahkannya sebagai teguran dan perbaikan
terhadap
kesalahan-kesalahan yang pernah kami lakukan di masa Laskar Jihad,
bahkan kami memuat waktu itu pujian-pujian para ulama pada penulis buku
tersebut.
Maka dengan catatan ini saya menyatakan berlepas diri dari kesalahan
dan penyimpangan Syaikh Fauzi Al Atsary yang terjadi kemudian.
Cirebon, 8 Mei 2006
Muhammad Umar As-Seweed

SEKALI LAGIMENGAPA HARUS BERMAN;HAJ SALAF

TERLARANGKAH MEMAKAI NISBAH AS-SALAFY atau AL-ATSARIY???