in

Kisah Pernikahan Nabi Muhammad Saw dan Khadijah Al Kubro ~ KATA MOTIVASI KEHIDUPAN

Kisah pernikahan dua insan mulia, Nabi Muhammad saw dengan Siti Khadijah ra. tidak diragukan lagi adalah Kisah Pernikahan yang terindah di alam nyata.

Sebuah kisah cinta yang tulus dan penuh liku serta ujian, yang berujung pada  suasana pernikahan yang sangat penuh romantik dan rasa haru yang mendalam bagi siapa saja yang membaca kisahnya kembali.


Tanpa perlu berpanjang leba
r lagi, langsung saja kita simak bersama kisah cinta dan pernikahan paling fenomenal sejagad berikut ini, selamat menikmati..

Kisah Cinta dan Pernikahan Dua Insan Termulia, Baginda Nabi Muhammad saw dengan Sayyidah Khadijah ra.

Alkisah..  Siang dan malam hati Khadijah telah terpikat oleh Muhammad Al Amin, Ia selalu mencari alasan untuk mendekatkan diri kepada putra Abu Thalib yang yatim itu. Ia telah terbakar dalam api cinta kepada putra Siti Aminah itu. Siang hari ia selalu gundah dan di malam hari ia tertidur pulas dalam harapan untuk menyatu dengannya.

Suatu malam, dalam mimpinya Khadijah melihat matahari berputar-putar di atas Makkah, lalu turun ke bawah dan masuk ke dalam rumahnya. Ia pun menceritakan kisah mimpi tidurnya tersebut kepada Pamannya, yang juga adalah seorang tetua yang bijaksana, yang bernama Waraqah bin Naufal.

Waraqah lalu menyingkap takbir mimpi khadijah itu dengan berkata,

“Engkau akan menikah dengan seorang yang agung yang ketenarannya akan menyinari jagad raya ini”.

Kecintaan Khadijah kepada Muhammad Al Amin adalah kecintaannya kepada kejujuran dan spiritualitas, sebuah kecintaan kepada Tuhan Muhammad yang selama empat puluh tahun ia selalu bermunajat kepada-Nya di gua Hira`.

Jangan Anda mengira bahwa kecintaan putri Khuwailid, seorang wanita terkenal dan terhormat di Makkah itu adalah sebuah kecintaan fiktif. Atau anda berpikiran bahwa kecintaannya bukanlah kecintaan suci dan tak bermakna. Tidaklah demikian.

Khadijah adalah seorang wanita berakal yang seluruh wujudnya telah dikuasai oleh api asmara terhadap Muhammad al-Amin.

Khadijah tidak hanya terpesona oleh ketampananan Muhammad al-Amin yang reputasi dan peranganyai menarik hati itu, sebagaimana kecintaan Zulaikha kepada Yusuf. Ia pernah mendengar dan memandang bahwa jagad raya ini tenteram karena keberadaannya.

Sementara itu di seberang sana..

Abu Thalib, seorang Pembesar di kalangan Quraisy dan dikenal dengan kedermawanan, keberanian, dan keteguhan jiwa sangat prihatin terhadap kondisi kehidupan keponakannya yang serba sulit.

Khadijah pun mengambil keputusan untuk mengutarakan keinginannya itu kepadanya, yakni agar Muhammad mau diajak bekerja sama untuk menjadi pimpinan bagi kafilah dagangnya ke luar negeri.

Maka, Suatu hari Abu Thalib berkata kepada Muhammad Al Amin,

“Khadijah putri Khuwailid, salah seorang saudagar (kaya) Quraisy sedang mencari seorang yang dapat dipercaya untuk diserahkan tanggungjawab mengurus dagangannya dan membawanya ke negeri Syam (Syiria). Alangkah baiknya jika engkau memperkenalkan dirimu kepadanya”.

Untuk seorang pemuda berusia dua puluh lima tahunan seperti Muhammad tentunya masih dikuasai oleh rasa malu, usulan yang semacam itu amatlah berat baginya.

Di sisi lain, kepribadian tinggi yang dimilikinya tidak mengizinkannya untuk melakukan hal semacam itu.

“Paman, Khadijah telah mengenal kejujuran dan amanahku. Mungkin ia sendiri yang akan mengutus seseorang kepadaku untuk mengutarakan usulan seperti usulan Anda itu”, jawab Muhammad Al Amin singkat.

Dan memang seperti itulah yang terjadi. Karena ia sangat mengenal pemuda jujur Makkah itu dan juga mengetahui kondisi kehidupannya yang serba sulit.

(Menurut sebagian pendapat, khadijah akhirnya jmengetahui perundingan yang telah terjadi antara Muhammad al-Amin dan Abu Thalib tersebut).

Khadijah lalu mengutus seseorang untuk memanggil Muhammad. Ketika pertama kali bertemu dengannya, khadijah kemudian berkata :

“Satu hal yang membuatku tertarik kepadamu adalah kejujuran dan akhlakmu yang baik. Karenanya saya siap memberi ( bagian ) dua kali lipat dari yang biasa kuberikan kepada orang lain dan nantinya saya akan mengutus dua budak bersamamu untuk menjadi pembantumu selama dalam perjalanan”.

Sepulang dari rumah Khadijah, Muhammad menceritakan apa yang telah terjadi tersebut kepada pamannya.

Sang paman menjawab, “Kejadian ini adalah sebuah perantara untuk sebuah kehidupan yang telah Allah skenariokan untukmu. Ini adalah sebuah rezeki yang telah Allah anugerahkan kepadamu”.

Singkat cerita, Rombongan pedagang Quraisy telah siap untuk berangkat. Setelah sampai di tujuan, semua barang dagangan terjual habis. Dan mereka juga melakukan transaksi di pasar Tuhâmah dengan membeli barang-barang dagangan yang diperlukan sewaktu mereka kembali ke daerah asal mereka.

Rombongan dagang Khadijah yang memiliki laba paling melimpah di bawah kepemimpinan Muhammad itu akhirnya pulang kembali ke Makkah. Sesampainya rombongan di Makkah, salah seorang budak yang bersama Muhammad itu berkata kepada Khadijah, “Anda memiliki berita bagus, rombongan dagangmu telah kembali dari Syam dengan membawa laba yang melimpah dan barang-barang dagangan yang sangat bagus.”

“Apa yang telah kalian katakan itu.. Kalian pasti memiliki kenangan indah dalam perjalanan kali ini. Coba ceritakan kepadaku”, kata Khadijah penuh harap akan berita terbaru dari sang pemuda idamannya itu.

Maisarah lalu menceritakan dua kenangan yang mengesankannya dalam perjalanan kali ini :

Pertama, Suatu ketika, Muhammad al-Amin berselisih pendapat dengan seorang pedagang dalam suatu masalah.
Pedagang itu berkata kepadanya, “Bersumpahlah demi Lâta dan ‘Uzzâ. Barulah akan kuterima ucapanmu.”

Muhammad al-Amin menjawab, “Makhluk paling hina dan paling kubenci adalah Lâta dan ‘Uzzâ yang kau sembah itu.”

Kedua, di Bushra, Muhammad al-Amin duduk di bawah sebuah pohon untuk beristirahat. Salah seorang Rahib Nasrani melihatnya dari tempat peribadatannya. Ia menghampirinya dan menanyakan namanya.

Ketika mendengar nama Muhammad al-Amin, ia berkata, “Orang ini pasti adalah nabi yang telah banyak kubaca kabar gembira berkenaan dengannya.

”Melalui kisah-kisah mengesankan itu dan pengenalannya yang yang telah lama terhadap pemuda istimewa Makkah itu, api cinta Khadijah semakin berkobar- kobar.

Di samping memberikan upah sesuai dengan kontrak dagang, Khadijah juga memberikan hadiah berharga kepada Pemimpin Kafilah dagangnya itu, sehingga Muhammad dapat memperbaiki kondisi hidupnya.

Semua pendapatan yang diterima dari Khadijah itu diserahkan kepada pamannya, Abu Thalib. Adalah benar bahwa Muhammad adalah seorang pemuda teladan, memiliki kemampuan manajemen hidup yang baik, sehingga keluarga-keluarga mulia Makkah merasa bangga ketika dapat menjalin hubungan kekeluargaan dengannya. Akan tetapi, Abu Thalib adalah orang terhormat dan pelindungnya.

Tata Cara Meminang Khadijah menceritakan segala yang diketahuinya tentang Muhammad al-Amin kepada Waraqah bin Naufal. Dan Waraqah, orang pintar dari Arab yang telah mengenal Muhammad sebelum Khadijah mengenalnya, membenarkan semua ceritanya. Pembenaran Waraqah itu menyebabkan Khadijah semakin menaruh hati kepada nabi yang dijanjikan itu. Bahkan dengan tegas ia menolak mentah-mentah semua pembesar Arab yang datang untuk meminangnya.

Para pembesar seperti ‘Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal, dan Abu Sufyan adalah di antara para peminang Khadijah.Tidak aneh—seperti kesaksian para ahli sejarah dan penulis biografi—jika Khadijah berkata kepada Muhammad, “Putra pamanku, dengan pengenalanku terhadap dirimu, aku sangat berharap dapat menikah denganmu”.

Muhammad Al-Amin itu pun menjawab, “Seyogianya aku mengutarakan masalah ini kepada paman-pamanku sehingga aku dapat mengambil keputusan atas dasar musyawarah dengan mereka”.

Sebagian ahli sejarah juga menulis, seorang wanita bernama Nafisah binti Aliyah, salah seorang sahabat Khadijah menyampaikan pesannya kepada Muhammad dengan berkata, “Mengapa di malam hari engkau tidak menyinari kehidupanmu dengan seorang istri? Jika akumengajakmu kepada keindahan, kekayaan, dan kemuliaan, maukah kau menerimanya?”

Muhammad bertanya, “Siapakah maksudmu?”

“Khadijah”, jawabnya.“Apakah ia rela dengan kondisi hidupku ini?”

“Ya. Tentukanlah harinya sehingga wakilnya dan seluruh kerabatmu duduk bersama untuk membicarakan pesta pernikahan.”

Inilah Khadijah dan dunianya yang indah dalam kehidupan Muhammad al-Amin, seorang pemuda kharismatik Makkah yang tampak agung di mata seluruh masyarakatnya. Tuhannya pun memuliakannya.

Khadijah adalah seorang wanita pemburu yang sangat mahir sehingga ia enggan menangkap “buruan” kecuali
keponakan Abu Thalib yang yatim, meskipun sahabatnya yang berwawasan pendek dan musuhnya sering mencelanya dalam pilihannya yang suci itu.

Kerjasama dagang itu, sebenarnya hanyalah sebuah alasan dan skenario untuk mewujudkan keinginan Khadijah yang jelas, sehingga ia dapat mengungkapkan kecintaannya yang membara dan keinginannya kepada kekasihnya tanpa perantara.

Ia pernah berkata kepada Muhammad, “Engkau telah menguasai seluruh pikiranku. Aku mencintaimu seperti yang dikehendaki oleh Tuhanmu dan sesuai dengan keinginanmu”.

Mimpi Khadijah sudah mendekati kenyataan. Ia membaca takwil mimpi indahnya itu di sekujur tubuh putra Aminah itu. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Ia berkata kepada dirinya sendiri, “Ya Tuhan, apakah takdir menentukan demikian bahwa aku adalah wanita pertama yang dicintai oleh al-Amin, Muhammad yang orang lain harus tersiksa dan terkatung-katung demi menjalin hubungan dengannya?”

Dialog Khadijah dengan Muhammad al-Amin

Dengan pesan Khadijah, nabi yang dijanjikan itu pergi bertamu ke rumah Khadijah. Atau setelah bermusyawarah dengan pamannya, Abu Thalib, Muhammad Al Amin pergi ke rumah Khadijah.

Muhammad mendapatkan penghormatan khusus dari Khadijah dan melantunkan beberapa syair untuknya.

“Apakah engkau memiliki keperluan yang dapat kulakukan?

”Putra Aminah tidak mengucapkan sepatah kata pun karena rasa malunya yang tinggi.

“Apakah aku dapat bertanya sesuatu kepadamu?”

“Silakan.”

“Apakah yang akan kau lakukan dengan upah perdagangan itu?”

“Apa maksudmu?”

“Aku ingin tahu apakah aku dapat melakuan sesuatu untukmu?”

“Pamanku, Abu Thalib menginginkanaku menikah dengan modal tersebut”. Jawab Muhammad singkat.

Dengan senyuman yang bercampur dengan kebahagiaan Khadijah berkata,

“Apakah kamu setuju jika aku mewujudkan keinginan pamanmu itu?
Aku kenal seorang wanita yang (dari segi kesempurnaan dan kecantikan ) sangat sesuai denganmu, seorang wanita yang baik, suci, dan berpengalaman. Sudah banyak orang yang ingin menjalin hubungan dengannya dan wanita-wanita pembesar Arab iri kepadanya. Wahai Muhammad, selayaknya kuceritakan juga kejelekan-kejelekannya. Ia pernah bersuami dua kali dan telah menjalani hidup bersamanya bertahun-tahun”.

“Siapakah namanya?” tanya Al Amin.

“Budakmu, Khadijah!”

“Oh, Tuhanku ! Ia telah bercerita tentang dirinya. Jika kuangkat kepalaku, apakah yang dapat kukatakan?”

“Mengapakah engkau tidak menjawabku? Demi Allah, aku sangat mencintaimu dan tidak akan pernah menentangmu dalam setiap keadaan”.

Diamnya Muhammad yang disertai dengan kewibawaan dan kesopanan itu membuat air mata Khadijah menetes, dan ia melantunkan beberapa bait syair secara spontan.

“Hatiku telah tertambat kepadamu. Di dalam taman hatiku terdapat kecintaan kepadamu. Jika engkau tidak menerima tawaranku, ruhku akan terbang dari ragaku.”

“Mengapakah engkau masih tidak menjawabku? Kerelaanmu adalah kerelaanku dan aku selalu menaatimu”.

“Mengapa engkau berkata demikian? Engkau adalah ratu Arab dan aku hanyalah seorang pemuda miskin“.

“Orang yang rela mengorbankan jiwanya untukmu, apakah ia mau  mempertahankan hartanya? Wahai putra kepercayaan Makkah, wahai pondasi wujud dan seluruh harapanku, aku akan menutupi kepapaanmu. Seluruh wujud dan modal material dan sosialku akan kukorbankan untukmu. Wahai matahari Makkah yang benderang, memancarlah dari jendela harapanku dan wujudkanlah harapan pamanmu yang sudah tua yang selalu mengharapkan engkau bersanding dengan seorang wanita. Jangan kau cela aku. Berikanlah hak kepadaku jika aku tergila-gila kepadamu. Zulaikha pernah melihat Yusuf dan ia menjadi tergila-gila, dan para wanita Mesir terpesona oleh ketampanannya. Engkau sangatlah agung. Jangan kau membuatku putus-asa. Demi Ka’bah dan bukit Shafâ, jangan kau usir aku dari dirimu. Bangun dan pergilah menemui paman-pamanmu, serta utuslah mereka untuk meminangku. Engkau akan mendapatiku sebagai wanita yang tegar dan setia”.

Singkat cerita, Rasulullah saw pun keluar dari rumah Khadijah tanpa memberikan jawaban dahulu kepada khadijah.

Al Amin pergi menemui pamannya. Kegembiraan dan kebahagiaan tampak terlukis di wajahnya. Ia melihat paman-pamannya sedang berkumpul.

Abu Thalib memandang wajah Rasulullah seraya berkata, “Keponakanku, aku ucapkan selamat atas hadiah yang telah kau terima dari Khadijah. Kukira ia telah mencurahkan seluruh hadiah atasmu.

”Rasulullah berkata perlahan, “Paman, aku ingin sesuatu dari Anda”.

Dengan tidak sabar Abu Thalib bertanya, “Permintaan apakah gerangan? Katakanlah sehingga kulaksanakan secepatnya”.

“Paman, berangkatlah sekarang juga bersama paman-paman yang lain dan pergilah menemui Khuwailid untuk meminang putrinya, Khadijah untukku” jawabnya.

Tak satu pun dari paman-pamannya yang mengabulkan permintaannya kecuali Abu Thalib.

Hanya saja Ia juga berkata, “Buah hatiku, sebenarnya kami yang harus belajar darimu dan bermusyawarah denganmu dalam masalah seperti ini. Engkau sendiri mengetahui bahwa Khadijah adalah seorang wanita yang sempurna, berkepribadian dan menjaga diri dari segala cela dan aib. Seluruh raja Arab, para pembesar Quraisy, para pembesar Bani Hasyim, raja-raja Yaman dan para pembesar Thaif telah meminangnya dan mereka bersedia mengorbankan harta berlimpah dalam hal ini, akan tetapi ia tidak menanggapi mereka semua dan melihat dirinya lebih tinggi dan lebih berkepribadian dari mereka. Anakku, engkau adalah seorang yang miskin dan tidak memiliki harta kekayaan. Khadijah adalah seorang wanita yang senang bergurau. Kukira ia ingin bergurau denganmu. Jangan kau anggap serius gurauan-gurauannya ini. Janganlah kau sebarkan berita ini, karena semua itu akan sampai ke telinga semua orang Quraisy”.

Kemudian Abu Lahab, paman Nabi yang lainnya juga berkata ;
“Keponakanku, jangan kau jadikan keluarga kami sebagai buah bibir seluruh penduduk Arab. Engkau tidak layak untuk seorang Khadijah”.

Sontak Abbas, sang paman Al amin lainnya lalu beranjak dari tempatnya dan menjawab perkataan Abu Lahab itu dengan lantang.

Ia berkata, “Engkau adalah seorang yang hina dan berperilaku buruk. Cela apakah yang dapat mereka temukan berkenaan dengan keponakanku? Ia memiliki ketampanan yang memikat dan kesempurnaan yang tak terbatas. Bagaimana mungkin Khadijah menganggap dirinya lebih tinggi darinya? Apakah dengan perantara harta, kecantikan, atau kesempurnaannya? Demi Tuhan Ka’bah, jika ia meminta mahar darinya, maka akan kutunggangi kudaku untuk berkeliling di padang sahara dan memasuki kerajaan para raja untuk menyediakan apa yang diminta oleh Khadijah itu”.

Rasulullah berkata, “Paman-pamanku, sudah terlalu lama kalian berdebat dengan masalah yang tidak ada gunanya. Kalian tidak perlu ikut campur dalam hal ini. Kalian tidak mengetahui apa yang kuketahui.”

Shafiah binti Abdul Muthalib, bibi Rasulullah beranjak dari tempatnya seraya berkata, “Demi Allah, aku tahu bahwa setiap yang dikatakan oleh keponakanku ini adalah benar. Ia adalah seorang yang jujur. Mungkin saja Khadijah hanya ingin bergurau dengannya. Aku akan pergi untuk meneliti terlebih dahulu”.

Shafiyah lalu mengenakan pakaiannya yang mewah dan pergi ke rumah Khadijah. Sebagian sahaya Khadijah melihat Shafiah menuju ke rumahnya. Mereka mengabarkan hal itu secepatnya.

Pada waktu itu, Khadijah sudah beranjak untuk tidur. Ia turun dari rumah bagian atas ke bagian bawah dan memberikan izin kepada semua sahayanya untuk beristirahat. Akan tetapi, setelah mengetahui Shafiah, bibi Muhammad Al Amin hendak datang, ia bersiap-siap untuk menjamunya. Dan karena terburu-buru, bagian bawah bajunya selalu terinjak oleh kakinya.

Pada waktu itu, Shafiyah masih berada di luar rumah. Ia mendengar ketika Khadijah berseru, “Tidak berbahagialah orang yang memusuhimu, wahai Muhammad !”.

Shafiah berkata kepada dirinya, “Sudah jelas bahwa ini bukanlah sebuah pegurauan”.

Ia lalu mengetuk pintu rumah Khadijah. Para sa
haya mengantarkannya bertemu Khadijah dan menjamunya dengan penuh kehormatan. Khadijah ingin mengambilkan makanan untuknya.

Akan tetapi, ia berkata, “Aku tidak datang untuk sebuah makanan. Aku datang untuk meneliti.”Khadijah yang memahami maksud dari isyarat tersebut kemudian berkata,

“Hal itu adalah benar. Jika kau mau, sebarkan hal ini atau rahasiakan saja dahulu. Aku telah meminang Muhammad untuk diriku dan menerima berapapun mahar yang diusulkannya. Jangan sampai kalian membohongkannya. Aku tahu bahwa Tuhan semesta alam telah membenarkannya”.

Mendengar itu, Shafiah bibir tersenyum merekah seraya berkata, “Aku memahami jika engkau memiliki rasa cinta yang demikian. Aku sendiri belum pernah melihat wajah bercahaya seperti wajah keponakanku, Muhammad, belum pernah mendengar ucapan yang lebih menarik dari ucapannya, dan belum pernah melihat gaya bicara yang lebih mulia dari gaya bicaranya”.

Setelah itu Shafiah hendak keluar dari rumah Khadijah, tapi Khadijah tidak mengizinkannya seraya berkata, “Sabar.. tunggu dulu sebentar.”

Ia lalu beranjak dan mengambil secarik kain yang sangat berharga. Ia memberikannya kepada Shafiah sebagai hadiah, lalu memeluknya seraya memohon sesuatu.

Khadijah lalu berkata, “Demi Allah, tolonglah aku sehingga aku dapat menjadi istri Muhammad.” Shafiah berjanji untuk membantunya sekuat tenaga. Lalu, ia bergegas pergi ke rumah saudara-saudaranya.

Mereka bertanya apa tentang yang telah terjadi di rumah khadijah. Ia menjawab, “Ia begitu tergila-gila terhadap keponakan kalian sehingga sulit untuk menceritakannya”.

Mendengar berita itu, mereka semua bergembira dan bahagia kecuali Abu Lahab, dan hal itu menambah kemarahan dan kebenciannya. Kemarahan dan kebenciannya itu sudah pernah terjadi sebelumnya dan sekarang bertambah parah.

Abbas berkata lantang, “Sekarang ketika rencana sudah sampai pada tahap ini, mengapa kalian semua masih duduk duduk saja di sini?”

***

Di sini, sejarah menukil satu pasal panjang tentang sikap Khuwailid terhadap Abu Thalib dan para peminang yang bersamanya. Mereka keluar dari rumah Khuwailid dengan penuh keputus-asaan.

Akan tetapi, sesuai dengan pendapat Kulaini dalam bukual-Kâfî dan al-Waqidi, yang melaksanakan akad pernikahan Khadijah adalah pamannya. Al-Waqidi menulis, “Khuwailid telah meninggal dunia sebelum peristiwa perang Fijâr”. Seperti diriwayatkan oleh Abul Hasan al-Bakri, setelah putra-putra Abdul Muthalib keluar dari rumah Khuwailid, ketika Khadijah mendengar kejadian yang telah terjadi, ia berkata,

“Katakanlah kepada pamanku, Waraqah untuk datang kemari.” Ketika ia datang, Khadijah sangat menghormati kedatangannya dan menanyakan perihal ketidakpeduliannya. Waraqah melihat Khadijah dalam kesedihan yang dalam. Ia berkata, “Keponakankku, apa yang sedang terjadi? Mengapa engkau bersedih hati?”

“Mengapa aku tidak boleh sedih setelah semua harapanku telah terbang dibawa angin?” jawabnya.

“Selama ini aku belum pernah mendengar engkau berbicara demikian. Mungkin maksudmu adalah pernikahan?” tanyanya lagi.

“Ya”, jawabnya singkat.

“Pernikahan ‘kan buan suatu masalah yang penting. Para pembesar Arab telah meminangmu dan kamu pun menolak mereka”, jawabnya.

“Aku tidak ingin keluar dari Makkah”, katanya lagi“.

Tidak sedikit para peminangnmu yang berdomisili di Makkah, seperti Syaibah bin Rabi’ah, ‘Uqbah bin Mu’ith, Abu Jahal bin Hisyam, dan Shalt bin Abi Yahab. Tidak satu pun dari mereka yang kau terima”, kata Waraqah lagi”.

Aku tidak ingin suamiku memiliki cela”, jawab Khadijah.

“Mereka ini memiliki cela apa?”, tanya Waraqah“.

Syaibah adalah seseorang yang selalu berburuk sangka dan jelek hati, ‘Uqbah sudah tua renta, dan Abu Jahal adalah seorang yang kikir, sombong, dan selalu mengumpat. Adapun Shalt, ia tidak dapat memelihara wanita. Pamanku, apakah engkau mendengar berita bahwa ada orang lain selain mereka telah meminangku?”, kata Khadijah.

“Ya, aku juga mendengar berita itu. Muhammad bin Abdullah telah meminangmu”, jawab Waraqah.“Apakah engkau melihat cela pada dirinya?”, tanyanya lagi.

Waraqah bin Naufal mengetahui banyak tentang kitab-kitab samawi. Ketika ia mendengar pertanyaan Khadijah itu, ia menundukkan kepala seraya berkata,

“Apakah engkau ingin kuceritakan cela-celanya?” tanyanya.

“Ya !”, jawab Khadijah penuh penasaran.

Waraqah kemudian berkata,
“Ia memiliki ras yang mulia dan keturunan yang berkepribadian. Ia memiliki wajah yang menarik, akhlak yang indah, keutamaan yang telah diketahui oleh khalayak, dan kemurahan hati yang sangat besar. Demi Allah, Khadijah, ini adalah sebuah kenyataan.

”Khadijah bertanya, “Sepertinya tadi aku minta supaya engkau menceritakan cela-celanya!

”Waraqah kemudian berkata, “Khadijah, dahinya bercahaya bak bintang-gumintang, kedua matanya seperti permata yang bergemilau, dan bahasanya lebih manis dari madu yang murni. Ketika sedang berjalan, ia memancar seperti rembulan yang cemerlang.

”Khadijah berkata, “Pamanku, janganlah bergurau. Tolong ceritakan cela dan aibnya”.

Waraqah kemudian melanjutkan perkatannya, “Semua wujudnya adalah keindahan, keturunannya bebas dari segala aib kekotoran, dan ia lebih tampan dari seluruh penduduk semesta alam. Ia memiliki hati yang penyayang. Rambutnya lembut dan terurai. Ia memiliki bau badan yang lebih harum dari minyak misik dan gayabicara yang lebih manis dari madu. Khadijah,aku mengambil Allah sebagai saksiku, aku sangat mencintainya”.

Khadijah berkata, “Pamanku, setiap aku memintamu menceritakan cela dan aibnya, engkau malah selalu menceritakan karakter -karakter baiknya !”.

Waraqah berkata, “Anakku, dapatkah aku menceritakan karakternya untukmu?”

Khadijah berkata, “Pamanku, kebanyakan orang membuat-buatkan cela baginya dan mereka mengatakan bahwa ia adalah seorang yang miskin. Jika ia miskin, kekayaanku sangat banyak. Bagaimana pun, aku sangat mencintanya dan aku pun telah meminangnya.

”Waraqah berkata, “Apa yang akan kau berikan padaku jika malam ini aku menikahkanmu dengannya?” Khadijah berkata, “Apakah selama ini aku mempersulit urusan terhadapmu? Kuserahkan semua kekayaanku padamu. Pilihlah apa yang kau sukai”.

Waraqah berkata, “Khadijah, aku tidak menginginkan perhiasan dunia. Masa depan memiliki perhitungan dan terdapat kitab amal dan siksa. Keselamatan akan dimiliki oleh orang yang mengikuti Muhammad dan membenarkan risalahnya. Celakalah orang yang menyimpang dari jalansurga dan memilih jalan menuju neraka”.

Khadijah berkata, “Apa yang kau inginkan akan kuberikan padamu.”

***

Menurut versi sejarah ini, Waraqah pergi menemui Khuwailid untuk mengingatkannya agar tidak menolak Bani Hasyim dan mengkritik tindakannya yang tidak baik. Khuwailid beralasan, “Muhammad tidak memiliki kekayaan, dan kukira Khadijah tidak akan mau”.

Waraqah menjawab kedua alasan Khuwailid itu dan mengajaknya untuk pergi bersama ke rumah Abu Thalib demi menebus kesalahannya selama ini dan mengambil hati Bani Hasyim kembali.

Akhirnya, Khuwailid menyerahkan seluruh urusan putrinya kepada Warqah bin Naufal dirumah Abu Thalib dan mengumumkan bahwa ia adalah wakilnya dalam semua urusan Khadijah.Hamzah, paman nabi tidak puas dengan perwakilan ini dan menetapkan agar perwakilan itu dinyatakan di depan kaum Quraisy.

Kemudian mereka bersama-sama datang ke Ka’bah dimana sekelompok orang sudah berkumpul disana seperti Shalat bin Abi Wahab, Hisyam bin Mughirah, Abu Jahal bin Hisyam,Uqbah bin abi Mu’ith, Umayah bin Khalaf dan Abu Sufyan.

Di hadapan mereka, Khuwailid juga mengakui perwakilanitu dan memutuskan bahwa esok harinya akan melangsungkan pertunangan resmi.Imam Shadiq as bersabda: ”Ketika Rasulullah saw ingin menikahi Khadijah, AbuThalib bersama rombongan Quraisy datang menemui paman Khadijah, Waraqoh bin Naufal.

Pertama, Abu Thalib yang mulai berbicara dan berkata: ”Puji syukur kepada Tuhan seluruh alam pemilik rumah ini
yang telah menjadikan kami dari golongan Ibrahim al-Khalil dan Ismail serta penghuni rumah-Nya yang penuh keamanan. Dia menjadikan kami sebagai hakim masyarakat dan mencurahkan nikmat-Nya dari tanah suci ini kepada kami.

Inilah keponakanku, Muhammad bin Abdillah, orang termulia di kalangan Quraisy dan tidak satupun yang sepadan dan serupa dengannya. Sekalipun ia miskin dan tidak punya harta (tapi harta dan kekayaan adalah teman pengkhianat dancepat pergi). Ia sangat mencintai Khadijah dan ia juga mencintainya.

Kami datang untukmeminangnya. Berapa saja maskawin yang ia relakan kami akan memenuhinya, baik kontan maupun tidak. Ya Allah, saya bersaksibahwa keponakannku adalah sosok agung dan memiliki masa depan yang jernih, agama serta keyakinan yang suci”.
Abu Thalib mengakhiri pembicarannya dan berakhir pula pertunangan dari pihak lelaki.

Paman Khadijah, Waraqoh juga ingin berbicara, namun mulutnya terasa berat dan tidak bisa menyampaikan apa yang seharusnya disampaikan. Disaat inilah Khadijah berbicara, Paman, sekalipun engkau pemegang semua urusanku dan saksi kehidupanku namun kali ini aku yang lebih berhak maju, lalu ia mengucapkan akad nikah sendiri sebagai berikut, ”Muhammad yang mulia, aku nikahkan diriku untukmu dan maskawin serta biaya perkawinan ini aku ambil dari kakayaanku. Katakanlah kepada pamanmu untuk menyembelih unta, menyiapkan resepsi perkawinan dan masuklah ke rumah istrimu kapan saja engkau mau”.

Abu Thalib memanfaatkan kesempatan yang ada dan berkata, ”Jadilah kalian semua saksi bahwa Khadijah telah menerima maskawin yang diambil dari hartanya !”

Sebagian orang Quraisy yang hadir di situ, karena merasa iri, dengan suara mengejek berteriak,

”Aneh sekali ! Dahulu kaum lelaki yang memberi maskawin, tapi sekarang kami lihat orang perempuan yang justru menyerahkan maskawin kepada calon suaminya”.

Abu Thalib merasa terpukul dan marah dengan ucapan ini (dia adalah lelaki kharismatik dimana orang orang akan ketakutan sewaktu ia marah) lalu berkata, ”Jika mempelai lelaki seperti keponakanku maka tidak menjadi masalah perempuan yang memberi maskawin yang mahal, akan tetapi jika yang menikah seperti kamu maka memang selayaknya kamu menanggung maskawin yang besar”.

Akhirnya, Abu Thalib menyembelih unta dan mengadakan walimah serta menikahkan Nabi saw dengan Khadijah.

Diperkirakan oleh para ahli sejarah, bahwa tidak kurang dari 100 ekor unta merah (unta terbaik di masanya) diserahkan untuk mas kawin pernikahan Nabi Muhammad kepada siti Khadijah ra demi menghindari celaan orang orang jahiliyah arab kala itu.

Maka berbahagialah alam semesta bersama dengan kebahagiaan dua insan mulia ini. Kisah Cinta yang tulus dan Suci serta Kisah Pernikahan Muhammad dan Khadijah adalah Kisah Nyata yang terbaik dan terindah manusia yang akan terus menggema sepanjang masa. 😉

Allahumma sholli alaa Muhammad wa alaa ali Sayyidina Muhammad.

Sumber : Facebook.
Disana juga menyebutkan : Kisah ini disarikan dan diterjemahkan dari kitab Doston Izdiwaj Maksumin).

Mungkinkah Penghuni Pertama Pulau Jawa Adalah Orang ini ? Info Sipaijo ~ KATA MOTIVASI KEHIDUPAN

Pembagian Harga Roti yang Adil Untuk Dua Sahabat ~ KATA MOTIVASI KEHIDUPAN