
Mohon maaf tidak menampilkan sumber karena lalai tidak menyertakan alamat url sumber tulisan.
PROSPEK PENERAPAN HUKUM PIDANA ISLAM DALAM SISTEM HUKUM PIDANA NASIONAL
Asri Neldi*
Abstract: This article discusses the prospect of integration of penal Islamic law into national penal law (KUHP). The reformation and transformation of law facilitate this integration as the Islamic penal law is in line with all available laws and regulation and it is not against the Human Rights. The prospect is promising as long as the pertinent parties are able to optimally the sources, both from Pancasila (the five principles) and from The 1945 Constitution. Both penal laws should be able to eliminate shortcomings and the threats and to seek solutions for the sake of plurality we have.
Key Words: Pidana Islam, KUHP, and Prospek.
Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang penduduknya sangat beragam dari segi etnik, budaya dan agama. Mayoritas penduduknya beragama Islam, tetapi berbeda keinginan dalam penerapan hukum pidana Islam di Indonesia. Sebagian dari mereka mendambakan supaya hukum pidana Islam dilaksanakan sesuai menurut apa yang tercantum dalam kitab suci al-Qur`an dan hadis Nabi Saw. Sedangkan kelompok lainnya justru menginginkan penerapan nilai-nilai ajaran Islam itu bisa menyentuh seluruh lapisan masyarakat, tanpa memandang budaya dan agama atau sebagai rahmatan lil ‘alamîn.
Hukum pidana Islam tidak banyak dipahami secara benar dan mendalam oleh masyarakat, bahkan juga oleh masyarakat Islam sendiri. Masyarakat umum hanya menangkap dan memperoleh kesan bahwa sanksi hukum pidana Islam, bila dilaksanakan kejam dan mengerikan. Mereka hanya menggambarkan tentang betapa kejamnya sanksi hukum potong tangan terhadap pencuri, hukum rajam terhadap orang yang berzina, serta hukum jilid (dera). Mereka tidak memahami tentang sistem hukum Islam dan sistem peradilan Islam serta eksekusi pelaksanaan sanksinya.[1]
Berbeda dengan hukum Islam dalam bidang keperdataan yang telah terjalin secara luas dalam hukum positif; baik sebagai unsur yang mempengaruhi, atau sebagai modifikasi norma agama yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan keperdataan, ataupun yang tercakup dalam lingkup hukum substansial dari undang-undang seperti undang-undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), hukum Islam bidang kepidanaan belum mendapat tempat di dalam sistem hukum di Indonesia.
Padahal, dasar filosofis Pancasila dan hukum dasar Undang-Undang Dasar 1945, yang melandasi negara Republik Indonesia, sebagai negara yang berketuhanan Yang Maha Esa, memungkinkan bagi hukum pidana Islam (Fiqh Jinâyah), menjadi bagian dari pembangunan Hukum Pidana Nasional. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana hukum Islam bidang kepidanaan ini dapat memberikan kontribusi terhadap penyempurnaan hukum pidana nasional dan diterima oleh semua pihak.
Kedudukan Hukum Pidana Islam
Secara yuridis formal, hukum Islam baru dapat menjadi hukum yang berlaku bagi pemeluknya bila hukum itu telah diundangkan oleh negara. Untuk hukum pidana Islam, hingga saat ini memang belum dapat diterapkan bagi masyarakat Indonesia, khususnya bagi yang beragama Islam.[2]
Namun, sejak munculnya era reformasi telah melahirkan iklim kebebasan dalam mengekspresikan pendapat tanpa tuduhan tindakan subversi. Termasuk dalam hal ini adalah aspirasi umat islam, baik dalam bentuk pendirian partai-partai politik maupun dalam bentuk aspirasi pelaksanaan syari’at Islam sebagai hukum positif atau diintegrasikan ke dalam hukum nasional.[3]
Al-Qur`an mencakup tiga bidang pokok ajaran, yaitu akidah, syari’ah, dan akhlak. Dalam pelaksanaannya, ketiga macam ajaran ini perlu terjalin erat. Pelaksanaan hukum-hukum syari’ah harus didasarkan kepada akidah yang benar, disertai akhlak yang tinggi dan mulia. Akidah (tauhid) adalah fundamen dari pilar pertama dan terkuat serta puncak dari segala kegiatan pelaksanaan hukum, termasuk mu’amalah kenegaraan dan hukum pidana. Syari’ah adalah hukum-hukum yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya, secara jelas terdapat dalam al-Qur`an dan Hadis. Fiqh adalah hukum-hukum hasil pemahaman dan kerja keras ulama mujitahid dari dalil- dalil yang rinci (terutama ayat-ayat al-Qur`an dan Hadis).
Hukum pidana Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama, maka di dalamnya terkandung dua aspek, yaitu aspek moral dan aspek yuridis. Aspek moral dapat dilaksanakan oleh setiap individu karena berkaitan dengan pelaksanaan perintah dan larangan. Aspek yuridis dilaksanakan oleh pemerintah karena menyangkut sanksi hukum yang tidak bisa dilaksanakan oleh perorangan. Sebagian umat Islam masih ada yang belum tahu bahwa dalam ajaran Islam terdapat satu aspek hukum, yaitu hukum pidana Islam yang nilai pengamalannya sama dengan aspek hukum yang lain, seperti ibadah, munakahah dan lain-lainnya.
Hukum pidana Islam atau fiqh jinâyah merupakan bagian dari syari’at Islam yang berlaku semenjak diutusnya Rasulullah Saw. Oleh karenanya, pada masa Rasul dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana Islam berlaku sebagai hukum publik, yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh pemerintah selaku penguasa atau ulil amri.
Para ulama fikih sering memakai kata-kata jinâyah untuk menyebut tindakan kejahatan (jarîmah). Semula, pengertian jinâyah adalah hasil perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fukaha, yang dimaksud dengan kata-kata jinâyah ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai jiwa atau harta benda.[4] Akan tetapi, kebanyakan fukaha memakai kata-kata jinâyah hanya untuk perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan seperti membunuh, melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya.[5]
Secara terminologis, sebagaimana dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah, sebagaimana dikutip oleh Ahmad Wardi Muslich, kata jinâyah adalah suatu istilah untuk perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya.[6] Namun, kebanyakan ulama membatasi jinâyah pada semua perbuatan yang diancam dengan hukuman hudûd dan qishâsh, tidak termasuk perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zîr.[7]
Hukum pidana Islam, secara formal maupun materiil berisikan norma, aturan dan sanksi berkaitan dengan pencurian, perzinaan, perampokan, minum-minuman keras, tuduhan perzinaan, tindak pembunuhan dan kekerasan fisik lainnya, hukum makar, murtad dan lain-lain. Karena kelengkapannya, hukum pidana Islam memungkinkan menjadi sumber materi hukum pidana nasional, di samping sumber-sumber lainnya seperti hukum adat dan hukum Barat. Upaya mengakomodasi materi hukum pidana Islam merupakan bagian dari perjuangan pembentukan hukum pidana nasional.
Hakikat Tindak Pidana
Para pakar hukum Islam ada yang berpendapat bahwa tindak pidana, bila ditinjau dari segi hukum dikenal tiga macam yaitu: jarîmah hudûd, jarîmah qishâsh atau diyât dan jarîmah ta’zîr. Namun ada juga yang menggolongkan empat macam yaitu dengan menambahkan ‘uqûbah. Penjelasannya sebagai berikut:
a. Hudûd adalah sanksi hukum yang tertentu dan mutlak menjadi hak Allah. Ketentuan ini tidak dapat diubah oleh siapapun. Sanksi itu wajib dilaksanakan bila syarat-syarat dari tindak pidana sudah terpenuhi. Sanksi ini dikenakan kepada kejahatan-kejahatan berat seperti zina, pencurian, riddah, qadzaf dan lain-lainnya.
b. Qishâsh dan diyât. Qishâsh adalah sanksi hukuman pembalasan seimbang, seperti membunuh terhadap si pembunuh. Diyât adalah sanksi hukuman dalam bentuk ganti rugi. Jika ahli waris si terbunuh memberi maaf kepada pelaku pembunuhan maka hukuman alternatif adalah diyât. Sanksi hukum qishâsh dan diyât adalah sanksi hukum perpaduan antara hak Allah dan hak manusia.
c. Ta’zir adalah sanksi hukum yang diserahkan kepada keputusan hakim atau pihak berwenang yang berkompeten melaksanakan hukuman itu, seperti memenjarakan, mengasingkan dan lainnya.
d. Kafarat dan fidyah adalah sanksi hukum dalam bentuk membayar denda yang pelaksanaanya diserahkan kepada si pelanggar. Bentuk denda ini dapat berupa memerdekakan budak, berpuasa dua bulan berturut-turut, penyembelihan atau memberi makan orang miskin.[8]
Dalam mengatur masalah pidana ini, Islam mengemukakan dua macam cara, yaitu: pertama, menetapkan hukum berdasarkan nash; kedua, menyerahkan penetapannya kepada penguasa (ulil amri).
Dalam cara yang pertama, Islam tidak memberikan kesempatan kepada penguasa untuk menyimpangkan ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan dalam al-Qur`an dan sunah. Hukuman untuk tindak pidana ini berlaku sepanjang masa dan tidak berubah karena perubahan ruang dan waktu. Bagian yang pertama inilah yang membedakan antara hukum pidana menurut syari’at Islam dengan hukum pidana yang berlaku sekarang di berbagai negara. Tindak Pidana yang termasuk dalam kelompok ini ada delapan macam yaitu:[9]
1. Tindak pidana perzinaan
2. Tindak pidana qadzaf (menuduh orang lain berzina)
3. Tindak pidana pencurian
4. Tindak pidana perampokan
5. Tindak pidana minum-minuman keras
6. Tindak pidana riddah (keluar dari Islam)
7. Tindak pidana pemberontakan
8. Tindaka pidana pembunuhan dan penganiayaan.
Tujuh macam tindak pidana yang disebutkan lebih dahulu, semuanya itu merupakan jarimah-jarimah hudud, yang hukumnya adalah hak Allah dan masyarakat. Sedangkan, tindak pidana yang kedelapan yaitu pembunuhan dan penganiyaan, merupakan jarimah qishâsh yang hukuman adalah hak individu. Dalam hal ini adalah hak pengampunan yang bisa diberikan oleh si korban atau keluarganya.
Tujuan Hukum Islam
Tujuan Hukum Islam (maqâshid syarî’ah), tercakup dalam tiga macam inti pokok yaitu: pertama, maqâshid al-dharûriyyah, yaitu tujuan untuk memelihara lima unsur pokok dalam kehidupan manusia yang meliputi; memelihara agama, jiwa, keturunan, akal dan harta; kedua, maqâshid al-hâjjiyah, yaitu tujuan untuk menghilangkan kesulitan atau pemeliharaan terhadap lima unsur pokok menjadi lebih baik lagi; ketiga, maqâshid al-tahsiniyyah, yaitu tujuan yang maksudnya agar manusia melakukan yang terbaik untuk menyempurnakan pemeliharaan lima unsur pokok.[10]
Selanjutnya, pembagian dharûriyyah kepada lima aspek pokok didasarkan pada hal-hal yang harus dipelihara melalui kewajiban hukum duniawi. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kelima aspek pokok tersebut untuk dipelihara, seperti hukum bunuh terhadap orang yang murtad, disyari’atkan untuk memelihara agama, disyariat’kan qishâsh dalam rangka memelihara jiwa, larangan minum yang memabukkan (khamar) untuk memelihara akal, dilarang berzina untuk memelihara keturunan dan potong tangan dalam rangka memelihara harta.[11]
Jika dilihat dari keberadaan hukum pidana dalam al-Qur`an, maka secara universal dapat dinyatakan kegunaannya untuk:[12]
1. Memelihara agama
2. Memelihara kehormatan manusia
3. Melindungi akal
4. Memelihara harta manusia
5. Memelihara jiwa manusia
6. Memelihara ketentraman umum
Keberadaan ayat-ayat al-Qur`an tentang jarîmah, uqûbah atau jinâyah berusaha dengan segala kekuatan yang ada untuk memebersihkan masyarakat dari sebab-sebab kriminalitas dan mendidik setiap individu agar beristiqomah dalam hidup dan kehidupan. Namun demikian, hal ini tidak cukup hanya dorongan moral, meskipun dorongan moral itu dijaga dengan sebaik-baiknya, juga tidak cukup hanya dengan tarbiyah, meskipun tarbiyah itu kebutuhan yang bersifat religi dan syar’i.
Kedudukan KUHP Nasional
Kehadiran Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional yang ideal sangat ditunggu oleh seluruh masyarakat Indonesia, karena sebagian dari pasal-pasal KUHP yang dipakai sekarang, tidak cocok dan sesuai lagi dengan kultur dan budaya kita. Oleh karenanya, upaya pembaharuan dan penyempurnaan KUHP tersebut terus dilakukan untuk mengganti KUHP warisan kolonial Belanda. Namun, upaya ini tidaklah mudah dan membutuhkan bahan kajian komperatif yang kritis dan konstruktif.
Menurut sejarahnya, KUHP yang kini berlaku di Indonesia berasal dari Wet Boek van Strafrecht Belanda tahun 1915 dan mulai berlaku sejak 1918. Setelah Indonesia merdeka, buku tersebut tetap berlaku berdasarkan aturan peralihan UUD 1945 dan dikukuhkan dengan UU No. 1 Tahun 1946. Dalam perjalanannya, ia mengalami perubahan, baik penambahan maupun pengurangan. Sejak tahun 1977, pemerintah Indonesia telah membentuk sebuah tim yang bertugas menyusun konsep RUU KUHP Nasional. Konsep RUU KUHP tersebut berasal dari KUHP lama, KUHP negara-negara lain, hasil simposium, seminar, lokakarya, serta masukan dari berbagai kalangan.[13]
Adapun gagasan dasar keinginan memasukkan sistem hukum pidana Islam dalam hukum pidana nasional adalah karena alasan-alasan sebagai berikut :
1. Sistem hukum Islam, tidak membedakan secara tegas antara konsep hukum perdata dan hukum pidana, sedangkan dalam hukum nasional dibedakan secara jelas. Hal ini terutama terlihat dalam konsep sanksi qishâsh dan diyât, yang memberikan kepada pihak korban hak untuk menuntut penjatuhan pidana kepada pelaku.
2. Dalam sistem pidana Islam, kepentingan korban sangat diperhatikan, karena itu ancaman yang diberikan kepada setiap pelaku kejahatan bersifat sangat tegas, dalam hukum nasional sanksi hukumannya tidak begitu berat.
3. Secara historis, penentuan bentuk dan berat ringannya pidana dalam al-Qur`an maupun sunah, mencerminkan kebijaksanaan legislatif yang maju dan berkembang serta semakin memperhatikan prinsip-prinsip asasi akan rasa keadilan dan kemanusiaan dalam masyarakat, sedangkan dalam hukum nasional kurang mencerminkan kebijaksanaan karena tidak dikenal unsur pemaaf.[14]
Sistem hukum pidana yang merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem berkehidupan kebangsaan secara nasional, harus dilandasi oleh Pancasila. Pancasila ini sendiri merupakan nilai-nilai kesusilaan sosial atau nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Dalam konteks negara kebangsaan, berbagai sumber nilai dapat saja dikembangkan menjadi bahan masukan bagi penyusunan sistem hukum pidana nasional sepanjang dapat mewujudkan:[15]
1. Hukum pidana yang berketuhanan Yang Maha Esa
2. Hukum pidana yang berkemanusiaan yang adil dan beradab
3. Hukum pidana yang mengandung nilai-nilai persatuan atau kepentingan bersama
4. Hukum pidana yang dijiwai oleh nilai- nilai kerakyatan, hikmah kebijaksanaan, dan kekeluargaan
5. Hukum pidana yang berKeadilan sosial.
Jika melihat kepada ancaman pidana yang dijatuhkan oleh para hakim di sidang pengadilan, seringkali tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat, khususnya bagi korban kejahatan dan keluarganya. Berbagai kejahatan dengan kekerasan seperti perampokan, pencurian, pembunuhan, perkosaan dan penganiyaan, hanya diganjar dengan hukuman ringan. Lemahnya penegakan hukum membuat masyarakat bangkit melakukan perlawanan secara masal terhadap berbagai macam bentuk kejahatan.
Hukum pidana sebagai hukum publik adalah hukum yang memberikan sanksi pidana pada pelanggaran norma hukum lainnya, norma-norma yang dianggap amat penting bagi kehidupan masyarakat yang aman dan tertib. Aturan-aturan hukum pidana menjaga kepentingan seorang memiliki harta bendanya. Karena ada azaz dalam hukum pidana, bahwa seseorang hanya bisa dipidana kalau ada aturan yang menentukan hal tersebut lebih dahulu.
Prospek Hukum Pidana Islam di Indonesia
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum di Republik Indonesia dan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi negara memberi kedudukan penting bagi agama. Kondisi ini memberi peluang yang sangat besar dan signifikan untuk pengembangan hukum yang bersumber dari agama yaitu hukum pidana Islam. Dalam hal ini political will dari pemerintah dan badan legislatif, tentu sangat diharapkan dalam rangka pengembangan hukum Islam dalam sistem hukum Nasional meskipun masih terbatas.[16]
Dalam perspektif politik ada kemungkinan besar hukum pidana Islam dapat terintegrasikan ke dalam sistem hukum pidana nasional. Namun demikian, walaupun Islam merupakan agama yang dianut oleh mayoritas penduduk Indonesia, hukum Islam tidaklah dengan sendirinya menempati posisi sentral dalam sistem hukum nasional.
Aturan hukum itu berasal dari norma-norma yang bersifat universal, karena itu aturan tersebut dapat berlaku lintas negara. Akan tetapi, apa yang dipandang universal oleh suatu bangsa belum tentu dianggap demikian oleh bangsa yang lain. Dalam hal ini, hukum lebih banyak berciri nasional dan lokal daripada internasional dan universal. Atas dasar ini pula perlu ada hukum internasional yang mengatur hubungan antar negara.
Oleh karenanya, maka setiap negara mempunyai hukum sendiri dan apa yang dipandang melanggar hukum dalam suatu negara belum tentu demikian di negara lain, begitu juga sebaliknya. Berbicara tentang hukum pidana yang berlaku di Indonesia, maka kita berhadapan dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) warisan penjajah Belanda. Hal ini tidak benar sepenuhnya, sebab disamping KUHP hukum pidana Indonesia juga terdapat pada beberapa undang-undang pidana lainnya seperti UU No. 31 Tahun 1999.
Berdasarkan pemetaan terhadap kondisi objektif hukum Islam tersebut, maka dapat ditegaskan bahwa prospek hukum Islam dalam sistem hukum nasional akan sangat mengembirakan, sepanjang pihak-pihak yang terkait dalam pengembangan hukum Islam mampu untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang yang dimiliki hukum Islam serta mampu mengeliminir kekurangan dan hambatan yang ada dan mencarikan solusinya.
Pembaharuan sistem hukum pidana nasional melalui pembahasan rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana, yang sedang diupayakan dewasa ini harus diakui telah mengakomodasi sebagian besar aspirasi umat beragama. Berbagai delik tentang agama ataupun yang berhubungan dengan agama mulai dirumuskan dalam RUU KUHP tersebut oleh tim BPHN.
Hukum Pidana Islam sudah seharusnya menjadi sumber materil Hukum Pidana Nasional, karena ditunjang secara historis oleh Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 dan pasal 29 ayat (2) UUD tersebut. Dengan kata lain, keseluruhan produk program legislasi nasional yang memuat dan memperdulikan hal-hal yang mengandung dimensi keislaman adalah kemutlakan. Banyak hal yang akan mendahului lahirnya keputusan nasional agar segi-segi hukum pidana dalam ajaran Islam dimasukkan menjadi bagian dari materi muatan hukum pidana nasional, yaitu:[17]
a. Hukum pidana adalah produk politik. Oleh karena itu harus ada kemauan politik dalam mekanisme program legislasi nasional. Untuk itu, pelaku politik yang beragama Islam di tingkat birokrasi pemerintah dan lembaga legislatif.
b. Umat Islam harus memberi jaminan konseptual bahwa implementasi hudûd dan qishâsh ataupun jild dan rajm, tidak melanggar hak kemanusiaan.
c. Perlu ada rumusan operasional mengenai perbedaan dan persamaan jenis-jenis perbuatan pidana di dalam KUHP dengan hukum pidana Islam. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi bahan yang matang bagi penyusunan rancangan KUHP Nasional.
d. Ketika hukum pidana Islam telah menjadi materi muatan hukum pidana nasional, umat Islam perlu memberi jaminan yang mengikat bahwa pasal-pasal pidana Islam tadinya hanya pasal diferensiasi. Karena itu hukum pidana Islam hanya berlaku bagi pelaku pidana yang beragama Islam. Jika pelaku beragama non-Islam melakukan kejahatan terhadap orang yang beragama Islam, bukankah itu cukup dikenakan pasal pidana umum.
e. Dalam kaitannya dengan pelaksanaan hukum pidana Islam, pluralitas masyarakat Indonesia tidak hanya dilihat dari segi agama, etnis, budaya dan teritorialnya.
Selanjutnya bila dicermati UUD 1945 mengakui dan menghormati pluralisme hukum dalam masyarakat, walaupun sistem peradilan nasional bersifat terstruktur dalam kerangka sistem nasional, materi hukum yang dijadikan pegangan oleh para hakim dapat dikembangkan secara beragam. Secara historis sistem hukum nasional Indonesia bersumber dari berbagai sub sistem hukum, yaitu sistem Barat, sistem hukum adat dan sistem hukum Islam.
Ada beberapa relevansi yang sinergi antara hukum pidana Islam dengan sistenm kehidupan masyarakat Indonesia, sehingga hal itu merupakan nilai tambah, bagi kontribusi hukum pidana Islam dalam rangka pembentukan KUHP Nasional di Indonesia, baik menurut tinjauan pemidanaan modern, tinjauan sosiologis, maupun tinjauan yuridis dan filosofis.
Secara filosofis, tradisi pidana dari sumber fikih yang akrab di kalangan mayoritas penduduk Indonesia, mempunyai landasan filosofis yang kuat untuk dijadikan sumber bagi usaha pembaharuan hukum pidana nasional. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam Pancasila merupakan sila pertama mengayomi sila-sila lainnya, sangat memungkinkan dikembangkan sistem hukum yang religius, seperti hukum pidana Islam sangat relevan untuk digali dalam rangka pembentukan KUHP Nasional.
Dalam menetapkan tindak pidana serta hukumannya yakni dari segi tujuannya, baik hukum pidana Islam maupun hukum positif, sama-sama bertujuan memelihara kepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Hukum Islam sangat memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti, karena akhlak merupakan sendi atau tiang. Oleh karenanya, setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya hukum positif tidaklah demikian. Menurut hukum positif ada beberapa perbuatan yang walaupun bertentangan dengan budi pekerti, tidak dianggap sebagai tindak pidana, kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung individu atau ketentraman masyarakat. Sebagai contoh adalah perbuatan zina. Menurut hukum pidana Islam, zina adalah perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan mempunyai dampak negatif terhadap masyarakat. Oleh karenanya hukum pidana Islam melihatnya sebagai tindak pidana dan mengancamnya dengan hukuman, dalam keadaan dan bentuk bagaimanapun juga, baik dilakukan suka sama suka maupun terkait dengan perkawinan. Akan tetapi hukum positif tidak menganggap perbuatan itu tindak pidana, kecuali bila terjadi perkosaan atau wanita tersebut di bawah umur atau pelaku adalah orang yang masih dalam ikatan perkawinan yang sah dengan orang lain dan salah satu pihak mengadu. Ini terdapat dalam pasal 284 KUHP.
2. Undang-undang hukum positif adalah produk manusia, sedangkan hukum Islam bersumber dari Allah. Dengan demikian, dalam hukum pidana Islam terdapat beberapa macam tindak pidana yang hukumannya sudah ditetapkan dalam al-Qur`an dan hadis.
Selanjutnya beberapa aspek masuknya pidana Islam dalam KUHP Nasional bisa melalui: pertama, melalui aspek struktural. Adapun yang dimaksud disini adalah seperti yang sudah penulis kemukakan sebelumnya bahwa pasal-pasal yang terdapat dalam KUHP tersebut dilengkapi dan disempurnakan, seperti pasal 284 tentang perzinaan, narkoba, kesusilaan dan sebagainya. Akibat pengaturan delik susila yang sangat longgar mengakibatkan negara ini menghadapi peningkatan kebebasan seksual. Berbeda dengan di Barat, masyarakat kita masih memegang teguh agama, moral, dan susila.
Pengintegrasian pidana Islam sangat memungkinkan dalam pembentukan hukum pidana Nasional, dengan cara pengungkapan materi pidana Islam secara eksplisit ke dalam RUU Kitab Undang-undang Hukum Pidana Nasional. Namun bila tidak memungkinkan melalui aspek moralitas (strategi siyâsah syari’ah). Pemberlakuan hukum agama ditujukan adalah khusus bagi umat Islam dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan umat bergama lainnya. Abdul Gani Abdullah mengatakan bahwa hukum yang kolonialistik itu seharusnya tidak satu-satunya sumber material pembentukan hukum pidana nasional, tetapi juga mengambil dari cita dan kesadaran hukum masyarakat Islam, di mana habitat hukum tumbuh dan berkembang secara wajar.[18]
Kedua, aspek fungsional. Menurut Ahmad Sukardja, ada dua pendekatan dalam pelaksanaan hukum pidana Islam, yaitu jawâbir dan zawâjir. Jika pendekatan jawâbir menghendaki pelaksanaan secara tekstual berdasarkan nash, di mana hukum itu ditegakkan dengan maksud menebus kesalahan dan dosa si pelaku pidana. Sedangkan pendekatan zawajîr lebih melihat bagaimana agar tujuan penghukuman itu sendiri dapat dicapai, yaitu membuat jera si pelaku dan menimbulkan rasa takut pada diri orang lain untuk melakukan perbuatan pidana sejenis. Selanjutnya, Sukardja berpendapat bahwa dalam rangka pengintegrasian hukum pidana Islam ke dalam hukum pidana nasional, kedua pendekatan ini patut menjadi pertimbangan. Bila dengan pendekatan zawajîr (hukum minimal) tujuan penerapan sanksi dapat tercapai, maka pendekatan jawabîr (hukum maksimal), yang disebutkan secara eksplisit dalam nash tidak perlu lagi diterapkan.[19]
Adapun relevansi asas-asas hukum pidana Islam yang dijumpai dalam KUHP, antara lain:
1. Asas legalitas
2. Asas tidak berlaku surut
3. Asas praduga tak bersalah
4. Tidak sahnya hukuman karena keraguan
5. Prinsip kesamaan di hadapan hukum
Penutup
Prospek masuknya pidana Islam dalam KUHP Nasional di era reformasi ini sangat terbuka sekali, walaupun pergulatan pemikiran mengenai sekularisme dan Islamisme di bidang ilmu hukum tetap ada. Reformulasi segi normatif dari ajaran Islam sepanjang mengenai hukum pidana menjadi keharusan ketika ditemukan kontroversi pendapat mengenai formulasi hukum dan sanksi-sanksi atas pelanggaran hukum dari kalangan ahli fikih.
Reformulasi dan kontruksi perundang-undangan menjadi upaya mempermudah proses transformasinya ke dalam sistem hukum produk program legislasi nasional. Kemudian reformulasi itu akan menjawab seluruh kondisi yang pluralistis bahwa hukum pidana Islam tidak berhadapan dengan kesan-kesan kekejaman dan melanggar HAM. Keberadaan pidana Islam yang bersifat publik sangat diharapkan umat Islam, terutama bagi mereka yang mendambakan penerapan hukuman atau sanksi menurut konsep pidana Islam, sehingga terciptalah supremasi hukum di Republik ini.
Prospek pidana Islam dalam sistem hukum Nasional akan sangat mengembirakan sepanjang pihak-pihak terkait dalam pengembangan pidana Islam mampu untuk mengoptimalkan kekuatan dan peluang, baik yang bersumber dari Pancasila dan UUD 1945 sebagai konstitusi negara, maupun yang dimiliki oleh hukum pidana Islam serta mampu mengeliminir kekurangan dan hambatan yang ada dan mencarikan solusinya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Djazuli, Fiqh Jinayah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
Abdul Halim Barkatullah, dkk, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam Di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006.
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1967.
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Masykuri Abdillah, dkk, Formalisasi Syari’at Islam di Indonesia, Jakarta: Renaisan, 2005.
Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, Jakarta: Gema Insani, 2003.
Zainuddin Ali, Hukum Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2006.
* Dosen tetap Fakultas Syari’ah IAIN STS Jambi.
[1] Muhammad Amin Suma, dkk, Pidana Islam di Indonesia, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hal. 15.
[2] Zainuddin Ali, Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), hal. 82.
[3] Dalam hal ini, salah satu provinsi yang sudah berhasil menerapkan hukum pidana Islam adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), dengan terbentuknya Mahkamah Syar’iyah yang memiliki wewenang menangani kasus-kasus perdana maupun pidana khusus bagi masyarakat muslim yang berada di NAD.
[4] Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1967), hal. 1.
[5] Ibid.
[6] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam , (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 1.
[7] A. Djazuli, Fiqh Jinayah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), hal. 1.
[8] Abdul Halim Barkatullah, dkk, Hukum Islam Menjawab Tantangan Zaman Yang Terus Berkembang, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hal. 263-264.
[9] Ahmad Wardi Muslich, Op. Cit., hal. 6.
[10] Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2006), hal.108.
[11] Ibid., hal. 109
[12] Abdul Halim Barkatullah, dkk, Op. Cit., hal. 80.
[13] Topo Santoso, Membumikan Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Gema Insani, 2003), hal. 83.
[14] Abdul Halim Barkatullah, Op. Cit., hal. 270-271.
[15] Muhammad Amin Suma, dkk, Op. Cit., hal. 27.
[16] Lahirnya UU No. 7 Tahun 1989 dan Inpres No.1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KUH) dapat dilihat sebagai indikatornya.
[17] Muhammad Amin Suma, dkk, Op. Cit., hal. 244.
[18] Ibid., hal. 265.
[19] Ibid, hal. 260-261.
HUKUMAN MATI
(Pergumulan antara Normativitas Islam dan HAM)
Ocktoberrinsyah*
Abstrak
The polemic over the death penalty remains a term of unfinished discourse and endless point of views and issues. However, a vast number of lawgivers have offered ideas but, unfortunately, they are still presented within Islamic paradigm. Meanwhile, sharp-critics have been given over Islamic criminal law in which the death penalty, which is commonly regarded as violating human rights, is still applied.
This article tries to overlook the death penalty from Islamic criminal law perspective, shows the values of its axiology norms, and addresses its relation with human rights issues. Its purpose is to not only rise and offer the new valuable perspective in which it is in so long time down, but also give highly valuable contribution for the development of the Indonesian criminal law.
A. Pendahuluan
Dalam konteks Indonesia, walaupun eksekusi hukuman mati telah dilaksanakan, tetapi belum menunjukkan angka yang signifikan dan masih banyak gugatan dari kuasa hukum terpidana mati, serta hingga kini masih menorehkan kontroversi yang berkepanjangan. Polemik-polemik yang terjadi di media massa, menimbulkan setidak-tidaknya dua mainstream pemikiran yang saling bertentangan.
Kelompok yang pro-hukuman mati berpendapat: (1) hukuman mati merupakan pidana tepat bagi pelaku pembunuhan (berencana) dan percaya pandangan retribution, atonement or vengeance, yang memiliki sifat khusus yang menakutkan; (2) pidana mati masih tercantum dalam sejumlah perundang-undangan;[1] (3) hukuman mati lebih ekonomis daripada hukuman seumur hidup.
Lebih jauh, perdebatan juga mengarah kepada pasal Pasal 28 I butir 1 UUD 45 (Amandemen Kedua) yang menegaskan bahwa hak untuk hidup adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun. Artinya, bagi kelompok yang kontra, seluruh produk hukum yang masih mencantumkan hukuman mati sebagai ancaman pidana, harus diubah. Pada pijakan ini, presiden dianggap tidak memiliki alasan yang cukup untuk menentang ketentuan konstitusi tersebut.
Berangkat dari latar belakang di atas, tulisan ini ingin mencoba melihat hukuman mati dalam perspektif hukum pidana Islam, dengan menonjolkan sisi-sisi aksiologis serta melirik ketersinggungannya dengan isu HAM, sehingga diharapkan mampu memberikan konstribusi bagi pemikiran hukum pidana Indonesia.
B. Tindak Pidana yang Diancam Hukuman Mati
1. ‘Uqubat badaniyyah (hukuman fisik), yaitu hukuman yang ditetapkan atas tubuh manusia. Masuk dalam kategori ini antara lain hukuman bunuh, jilid dan penjara.
2. ‘Uqubat nafsiyyah (hukuman psikologis), merupakan pengganti hukuman diberikan dalam bentuk psikologis, seperti nasehat dan peringatan.
3. ‘Uqubah maliyyah (hukuman denda), yaitu hukuman dalam bentuk materiil seperti hukuman diyat.
1. Pembunuhan (al-qatl)
2. Perampokan (al-hirabah)
3. Pemberontakan (al-bagy)
Keharaman pemberontakan telah ditegaskan oleh Al-Quran dan Hadis. Allah berfirman:
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain, maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali kepada perintah Allah, maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat adil.”[16]
Ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-bagy. Ulama Hanafiyyah misalnya mendefinisikannya sebagai keluarnya seseorang dari ketaatan kepada imam yang sah tanpa alasan.
4. Riddah (keluar dari Islam)
5. Zina
Zina berarti hubungan kelamin di antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Tidak menjadi masalah apakah salah seorang atau kedua belah pihak telah berkeluarga ataukah masih lajang.[25] Tetapi dari segi sanksinya, terdapat perbedaan antara pezina yang sudah menikah dengan pezina yang masih lajang. Bagi pezina yang masih lajang (gair muhsan), maka hukumannya didera seratus kali, sesuai dengan firman Allah:
6. Tindak Pidana Ta’zir.
Secara sederhana, tindak pidana ta’zir ini dapat terbagi menjadi tiga bagian[29]:
a. Tindak pidana hudud atau qisas yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun sudah merupakan maksiat, seperti percobaan pencurian, pencurian di kalangan keluarga dan sebagainya.
b. Tindak pidana yang ditentukan oleh nas agama (Al-Qur`an dan Hadis), namun tidak ditentukan sanksinya, seperti penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanah dan sebagainya.
Dengan demikian, pemerintah dapat saja menjatuhkan hukuman mati misalnya pada kasus-kasus yang sangat berat seperti narkoba dan korupsi dalam jumlah tertentu.
C. SISI AKSIOLOGIS HUKUMAN MATI
Di sisi lain, hukuman dalam pandangan Islam bukan hanya sekedar menjadikan perintah dan larangan lebih berarti[38], tetapi juga sebagai penghapus dosa terhadap apa yang telah dilakukan oleh pelaku kejahatan.[39] Pembunuhan merupakan salah satu dosa besar yang paling dibenci oleh agama, oleh karena itu bila seseorang telah melanggarnya dan ia tidak mau bertaubat, maka tebusannya adalah kematian sesuai perintah agama pula.
D. Hukuman Mati dan HAM
Kritik teologis pun sebenarnya sangat lemah dan tidak argumentatif, karena justeru sebenarnya Allahlah yang memberi perintah untuk menerapkan hukuman mati tersebut (lihat kembali ayat-ayat yang berkaitan dengan pembunuhan pada paparan sebelumnya). Sebaliknya, seharusnya yang menjadi pertanyaan adalah siapa yang memberi wewenang kepada pelaku kejahatan untuk mencabut nyawa orang lain? Nas-nas agama jelas menyatakan bahwa perbuatan semacam ini tidak dibenarkan. Jadi, dapat dikatakan bahwa hukuman mati, dalam konteks tertentu tidak dimaksudkan untuk merampas hak asasi manusia, tetapi justeru untuk melindungi hak asasi manusia itu sendiri dari perampasan.
E. Penutup
Setelah mengkaji data literer yang berkaitan dengan hukuman mati, terutama yang berkaitan dengan hukum pidana Islam, maka dapat ditarik konklusi sebagai berikut:
1. Hukum pidana Islam masih menerapkan hukuman mati. Dari sisi aksiologisnya, hukuman mati dianggap mampu menegasikan tindakan balas dendam dari keluarga korban atau masyarakat, dan juga mampu mencegah orang lain untuk melakukan tindakan yang sama, mengingat ancaman yang sangat berat. Hukuman mati ini tidak bisa dikatakan melanggar HAM, akan tetapi justeru sebaliknya hukuman mati melindungi HAM (individu dan masyarakat) dari perampasan secara sewenang-wenang.
2. Hukum pidana Islam mengenal sejumlah tindak pidana yang dapat diancam dengan hukuman mati yaitu, pembunuhan sengaja, perampokan, pemberontakan, riddah, zina muhsan dan tindak pidana ta’zir.
F. Daftar Pustaka
Amin, Sayed Hassan, Islamic Law and Its Implications for Modern World Skotlandia: Royston Ltd., 1989
Arief, Barda Nawawi, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002
Audah, `Abd al-Qâdir. at-Tasyrî` al-Jinâ’î al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad`î, Beirut: Dâr al-Kâtib al-`Arabî, t.t., 2 Juz.
Awwa, Muhammad Salim Al-, “The Basis of Islamic Penal Legislation”, dalam M.Cherif Bassiouni, The Islamic Criminal Justice System, London-Paris-Rome-New York: Oceana Publication, 1982
Bahansî, Ahmad Fathî. al-`Uqûbah fî al-Fiqh al-Islâmî, Mesir: Dâr al-Kutub al-`Arabiyah, 1958
Bassiouni, M.Cherif (Ed)., The Islamic Criminal Justice System, London-Paris-Rome-New York: Oceana Publication, 1982
Bukhari Al-, Sahih al-Bukhari, Beirut: Dar al-Fikr, 1981
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: CV. Jaya Sakti, 1989
Hamid, Usman. “Hukuman Mati, Bukan Sekedar Penerapan Hukum Positif” dalam situs www.kompas.com.
Kasani, Abu Bakr bin Mas’ud Al-, Bada`i’ as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i Kairo: Matba’ah al-Jamaliyah, 1910
Lamintang, P.A.F. dan C.Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Sinar Baru, 1983
Ocktoberrinsyah, “Riddah dan Kebebasan Beragama”, Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan, 1997.
Sabiq, As-Sayyid, Fiqh as-Sunnah, Beirut: Dar al-Fikr, 1977
Santoso, Topo. Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syari`at Islam dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001.
Sunaryo, Thomas “Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Reformasi” dalam situs www.kompas.com.
Syukur, M.Amin, “Pidana Mati dalam Pandangan Islam”, disampaikan dalam Simposium Nasional “Perspektif terhadap Pidana Mati di Indonesia”, UNTAG Semarang, 14 Agustus 2003.
Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003
Zuhaili, Wahbah Az-, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.
INTEGRASI HUKUM PIDANA ISLAM
DALAM HUKUM NASIONAL
Oleh: Drs.Ocktoberrinsyah, M.Ag.
A. Pendahuluan
Dari latar belakang di atas, tulisan ini memfokuskan kajian pada dua masalah pokok, yaitu yang pertama mengapa upaya integrasi ini berjalan begitu lamban, sedangkan bidang hukum Islam yang lain seperti hukum perkawinan, waris, wakaf dan zakat telah berhasil menapakkan kakinya di dataran hukum nasional walaupun belum begitu kuat. Dengan kata lain, faktor-faktor apa sajakah yang menjadi penghambat upaya penerapan hukum pidana Islam di Indonesia? Selanjutnya, tulisan ini juga akan memfokuskan kajiannya pada pencarian model yang tepat bagi penerapan hukum pidana Islam di Indonesia.
B. Sejarah Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda sejak awal abad ke-19 memberlakukan kodifikasi hukum pidana, yang pada mulanya masih pluralistis. Ada kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Eropa, dan ada Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk orang-orang Bumiputra dan yang dipersamakan (inlanders). Akan tetapi, mulai tahun 1918 diberlakukan satu Kitab Undang-undang Hukum Pidana untuk seluruh golongan yang ada di Hindia Belanda (unifikasi hukum pidana). Itulah hukum yang berlaku sampai sekarang. Sejak kemerdekaan Indonesia, kitab tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).[45] Unifikasi ini telah “melenyapkan” penerapan hukum pidana Islam di bumi persada Indonesia.
C. Faktor-faktor Penghambat
D. Model Penerapan Hukum Pidana Islam di Indonesia
Terlepas dari adanya pro dan kontra tentang formalisme dan substansialisme dalam masalah penerapan hukum pidana Islam dalam konteks ke-Indonesia-an ini, merupakan hal yang pasti ialah umat Islam Indonesia memang sungguh dituntut kearifannya untuk bisa mempertimbangkan secara proporsional berbagai aspek lain mengenai nilai positif (maslahat) maupun nilai negatif (mafsadat) yang bisa diprediksi sebagai konsekuensi dari masing-masing pendapat. Tujuannya adalah agar bentuk pemberlakuan hukum pidana Islam yang nantinya dipilih , dapat benar-benar mencerminkan dan sekaligus berada dalam koridor penciptaan maslahat bagi kehidupan manusia, khususnya bangsa Indonesia. Hal ini mengingat esensi dari tujuan disyari’atkan hukum Islam, termasuk di dalamnya hukum pidana Islam, untuk menciptakan kemaslahatan dan mencegah kerusakan kehidupan manusia.
Penerapan hukum pidana Islam dalam bentuk yang formal-tekstual, merupakan sesuatu yang sangat sulit –atau bahkan mustahil- dan memerlukan perencanaan yang matang dan berjangka panjang, serta realitas sosial-budaya yang kondusif. Untuk saat ini, kondisi tersebut belum tercipta dan dengan demikian penerapan hukum pidana Islam secara substansial-kontekstual merupakan pilihan yang paling realistis.
E. Gagasan Alternatif Bagi Hukum Pidana Nasional.
Di samping hal-hal di atas, konstribusi hukum pidana Islam juga bisa diberikan dalam bentuk asas-asas yang disarikan dari hukum pidana Islam. Asas-asas ini kemudian dijadikan sebagai asas hukum materiil yang konstitutif, artinya masuk dalam KUHP, dan dijadikan perspektif dalam pembentukan hukum pidana nasional.
F. Penutup
Mempertimbangkan kendala-kendala di atas, maka model penerapan hukum pidana Islam yang paling tepat adalah dengan mengkompromikan hukum pidana Islam dengan hukum pidana (warisan Belanda) yang berlaku saat sekarang ini. Artinya, penerapannya tidak harus formal-tekstual, akan tetapi substansial-kontekstual. Dengan demikian, hukum pidana Indonesia mendatang benar-benar dapat diterima oleh seluruh lapisan masyarakat dan diharapkan mampu membentuk masyarakat Indonesia yang taat hukum serta berakhlak mulia.
G. Daftar Pustaka
Adji, Oemar Seno, Hukum Pidana Pengembangan, Jakarta: Erlangga, 1985.
Anderson, James Norman Dalrymple, Islamic Law in the Modern World, Connecticut: Greenwood Press, 1975
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002.
________, Sari Kuliah Perbandingan Hukum Pidana, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Arifin, Bustanul, “Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah”, dalam Jaenal Aripin dan M.Arskal Slaim GP, Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangannya, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001.
Ash-Shiddiqie, Jimly, Pembaharuan Hukum Pidana Indonesia, Bandung: Angkasa, 1995.
Audah, Abdul Qadir, Islamic System of Justice, translated by S.M.Hasnain, New Delhi: Kitab Bhawan, 1994.
________, Al-Tasyrî’ al-Jinâ`î al-Islâmî, Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, t.t.
Badan Pembinaan Hukum Nasional, Hasil-hasil Pertemuan Ilmiah (Simposium, Seminar, Lokakarya) Badan Pembinaan Hukum Nasional 1979-1983, Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1983.
Basyir, Ahmad Azhar, “Hukum Islam di Indonesia dari Masa ke Masa”, dalam Dadan Muttaqien, dkk (Eds), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia, Yogyakarta: UII Press, 1999.
Djazuli, H.A., Fiqh Jinayah: Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2000.
Effendy, Bahtiar, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Jakarta: Paramadina, 1998.
Hamzah, Andi dan A.Sumangelipu, Pidana Mati di Indonesia: di Masa Lalu, Kini dan di Masa Depan, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985.
Ibrahim, Ahmad dan Ahielmah Joned, Sistem Undang-undang di Malaysia, Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pendidikan Malaysia, 1992
Marjono, Hartono, Menegakkan Syari’at Hukum Islam dalam Konteks Ke-Indonesiaan, Bandung: Mizan, 1997.
Powell, Ronald R., Basic Research Methods for Librarians, New Jersey: Ablex Publishing Corporation, 1991
Ramulyo, Mohd.Idris, Asas-asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 1997.
Santoso, Topo, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syari’at Islam dalam Konteks Modernitas, Bandung: Asyaamil Press dan Grafika, 2001
Soeprapto, Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya, Yogyakarta: kanisius 1998.
UU RI No.38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
Waluyadi, Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Djambatan, 2003
* Penulis adalah dosen Fiqh Jinayah Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
[1]Pasal 10 KUHP Indonesia menyatakan bahwa hukuman pokok terdiri dari hukuman mati, hukuman penjara, hukuman kurungan dan hukuman denda. Sedangkan hukuman tambahan dapat berbentuk pencabutan dari hak-hak tertentu, penyitaan terhadap benda-benda tertentu dan pengumuman putusan hakim. Lihat, P.A.F.Lamintang dan C.Djisman Samosir, Hukum Pidana Indonesia (Bandung: Sinar Baru, 1983), hlm.13.
[2]Thomas Sunaryo, “Hukuman Mati, Pelanggaran HAM dan Reformasi” dalam situs www.kompas.com.
[3] Usman Hamid, “Hukuman Mati, Bukan Sekedar Penerapan Hukum Positif” dalam situs www.kompas.com.
[4]Lihat misalnya, Al-Baqarah (2): 178. Dalam ayat ini dijelaskan bahwa qisas ditetapkan atas orang-orang yang beriman, itu artinya orang yang membunuh dapat dijatuhi hukuman bunuh sebagai balasan setimpal atas perbuatan yang dilakukannya.
[5] ‘Abd al-Qadir ‘Audah, At-Tasyri’ al-Jina`i al-Islami Muqaranan bi al-Qanun al-Wad’i (Beirut: Dar al-Katib al-‘Arabiy, t.t.), I: 633-4.
[6] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VI: 217
[7] Santoso., Menggagas Hukum., hlm. 203.
[8] Wahbah az-Zuhaili, Al-Fiqh al-Islami., VI: 217.
[9] Banyak sekali ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi yang mengecam tindak pidana pembunuhan ini. Larangan, sanksi duniawi dan sanksi ukhrawinya dapat dilihat misalnya dalam Al-Isra (17): 33, Al-Maidah (5): 32, Al-Baqarah (2): 178-9, An-Nisa’ (4): 93.
[10] Topo Santoso, Menggagas Hukum., hlm.193
[11] Audah., at-Tasyri’ al-Jina’i., II: 638
[12] Az-Zuhaili., Al-Fiqh al-Islami., VI: 129-130.
[13] Ibid., hlm.131. Lihat juga, Santoso., Menggagas Hukum. hlm194
[14] Al-Maidah (5): 33.
[15] Santoso., Menggagas Hukum., hlm.194-5.
[16] Al-Hujurat (49): 9
[17] Djazuli., Fiqh Jinayah., hlm106
[18] Ibid., hlm.110-1
[19] Abu Bakr bin Mas’ud al-Kasani, Bada`i’ as-Sana’i fi Tartib asy-Syara’i (Kairo: Matba’ah al-Jamaliyah, 1910), VII: 134.
[20] As-Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah (Beirut: Dar al-Fikr, 1977), II: 381.
[21] ‘Audah. At-Tasyri’ al-Jina`i., II: 720-1
[22] Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari (Beirut: Dar al-Fikr, 1981), VIII: 50. Hadis diriwayatkan dari Ibn Abbas.
[23] ‘Audah., At-Tasyri’ al-Jina`i., II: 728
[24] Lebih jauh lihat tesis penulis, Ocktoberrinsyah, “Riddah dan Kebebasan Beragama”, Tesis Pasca Sarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, tidak diterbitkan, 1997.
[25] Santoso., Mengagags Hukum., hlm.195.
[26] An-Nur (24): 2
[27] Santoso., Menggagas Hukum., hlm197.
[28] Audah., At-Tasyri’ al-Jina`i., hlm.80, 685
[29] Djazuli., Fiqh Jinayah., hlm13-4
[30] Audah., At-Tasyri’ al-Jina`i., I: 609
[31] Lihat Al-Gasyiyah (88): 22, Qaf (50): 45 dan Al-Anbiya` (21): 107
[32] Audah. At-Tasyri’ al-Jina`i., hlm.68.
[33]Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syari`qat Islam dalam Konteks Modernitas (Bandung: Asy Syaamil Press dan Grafika, 2001), hlm. 185-6.
[34]Ahmad Fathî Bahansî, al-`Uqûbah fî al-Fiqh al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Kutub al-`Arabiyah, 1958), hlm.11.
[35]Muhammad Salim Al-Awwa, “The Basis of Islamic Penal Legislation”, dalam M.Cherif Bassiouni (ed.), The Islamic Criminal Justice System (London-Paris-Rome-New York: Oceana Publication, 1982), hlm.25-6.
[36] Dalam Al-Maidah (5): 32 dikatakan, “…barang siapa yang membunuh sorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya dan barang siapa telah memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya…”.
[37] Al-Baqarah (2): 179.
[38]` Abd al-Qâdir Audah, at-Tasyr î` al-Jinâ’î al-Islâmî: Muqâranan bi al-Qânûn al-Wad`î (Beirut: Dâr al-Kâtib al-`Arabî, t.t.) , hlm.68
[39]Pernyatan ini diambil dari sebuah hadis riwayat al-Turmuzi sebagaimana dikutip dalam Bahansi. Al-`Uqubah., hlm.10.
[40] S.H.Amin, Islamic Law and Its Implications for Modern World (Skotlandia: Royston Ltd., 1989), hlm.52.
[41] Ahmad Azhar Basyir, “Hukum Islam di Indonesia dari masa ke Masa”, dalam Drs. Dadan Muttaqien, M.Hum. dkk (Eds), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata hukum Indonesia (Yogyakarta: UII Press, 1999), h.11-2.
[42] Lihat: UU RI No.38 Tahun 1999, tentang Pengelolaan Zakat.
[43]Mohd. Idris Ramulyo, Asas-asas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya Kedudukan Hukum Islam dalam Sistem Hukum di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 1997), hlm.48.
[44]Bustanul Arifin, “Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah” dalam Jaenal Aripin dan M.Arskal Salim GP (Eds), Pidana Islam di Indonesia: Peluang Prospek dan Tangtangan (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm.44.
[45]Ibid., hlm.45-6.
[46]Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2002), hlm.299.
[47]Berdasarkan hukum yang berlaku di Indonesia, pembentukan undang-undang harus melalui tiga tahap: tahap pertama adalah proses penyiapan rancangan undang-undang, yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan pemerintah, atau di lingkungan Dewan Perwakilan Rakyat (dalam hal RUU Usul Inisiatif); tahap kedua adalah proses mendapatkan persetujuan yang merupakan pembahasan di tingkat DPR; dan tahap ketiga adalah proses pengesahan (oleh Presiden) dan pengundangan (oleh Menteri Sekretaris Negara atas perintah Presiden. Lihat, Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan: Dasar-dasar dan Pembentukannya (Yogyakarta: Kanisius, 1998), hlm. 134-149.
[48] J.N.D. Anderson, Islamic Law in Modern World (Connecticut: Greenwood Press, 1975), h.17-37.
[49]Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), hlm.12.
[50]Ibid., hlm.13
[51]Ibid., hlm.14-5.
[52]Polemik tersebut antara lain dapat dilihat dari “pertarungan pendapat” antara Syafi’ie Ma’arif yang menghendaki bahwa dengan berbagai pertimbangan (seperti mencegah mafsadat dan menciptakan maslahat), penegakkan syari’at Islam di Indonesia (termasuk hukum pidananya) yang terpenting adalah substansinya (Republika, 23 Agustus 2000). Di sisi lain Deliar Noer berpandangan selain substansi, penegakkan syari’at Islam di Indonesia juga perlu sampai pada tataran simbolismenya (hukum Islam dalam artian formal-tekstual), karena selain hal itu bisa menumbuhkan kebanggaan di kalangan umat, juga bisa memudahlanpemahaman masyarakat awamterhadap syari’at Islam itu sendiri. (Republika, 4 September 2000).
[53]Barda Nawawi., Bunga Rampai., hlm. 300.
[54] Awdah telah mengkomparasikan hal ini antara hukum pidana Islam dan hukum pidana positif. Lebih jauh lihat: Awdah, Al-Tasyri’. I:70
[55] Lihat Tesis Penulis: “Riddah dan Kebebasan Beragama”, tahun 1997, belum dipublikasikan.
[56]Nadirsyah Hosen, “KUHP dan Syari’at Islam”, artikel lepas dalam situs www.islamlib.com
Menyorot Qanun Jinayah
* Kajian
Jum`at, 2 Oktober 2009
Penulis : Taqwaddin
Menyorot Qanun Jinayah
MENGAPA ada penolakan atas hukuman cambuk dan rajam (Qanun Jinayah)? Hemat saya, perlu ada studi yang mendalam. Riset dengan pendekatan berkualitas akan bisa menjawab. Ini bisa dilakukan pada tingkat tesis atau disertasi yang mendalami bidang lintas agama, bukan hanya studi hukum dan HAM saja. Menurut saya, penolakan hukum jinayah itu semata karena perspektif HAM. Penolakan itu juga dipicu oleh persoalan aqidah dari kalangan non muslim yang mengompori para muslim “abangan”. Kalangan muslim “abangan” ini yang lazim aktif dalam LSM fanding asing, tanpa menyadari ikut terpengaruh.
Diberlakukannya hukum rajam, secara pribadi saya keberatan.Namun tak keberatan adanya ancaman hukuman tersebut di dalam Qanun Jinayat. Artinya, ini salah satu upaya untuk mencegah terjadinya delik susila perzinahan. Jadi, bukan berarti, adanya hukuman rajam dimaksudkan untuk mematikan orang berzina secara sadis. Hukuman sekeras itu, lebih dimaksudkan untuk menimbulkan detterent effect bagi calon penzinah, agar orang tak mendekati zina. Hanya untuk menakutkan. Tetapi kalau juga tidak takut,,,,, perlu ada shoch therapy atau alternatif upaya lainnya yang dibolehkan oleh hukum.
Dari perspektif akademika hukum, persoalan ancaman pidana atau penghukuman bukanlah hal terlalu penting untuk diutamakan perbincangannya. Karena itu, jarang sekali ada diskusi tentang ancaman pidana dalam suatu peraturan perundang-undangan.
Terhadap hal ini, biasanya, seakan-akan sudah given dipahami kalangan internal hukum. Jenis hukuman di Indonesia, dapat berupa hukuman mati, penjara seumur hidup dan seterusnya. Tegasnya, hukuman mati masih dibenarkan di Indonesia, dan seringpula diberlakukan untuk kasus-kasus kejahatan kemanusiaan alias luar biasa (hazardcriminalitet).
Mekanisme hukuman mati pun telah diatur proses dan prosedurnya. Masalahnya, apakah kejahatan menzinahi istri atau suami orang lain, termasuk kejahatan luar biasa yang menimbulkan ketakutan dan membahayakan umat manusia? Tidak mudah menjawabnya.
Bisa iya atau tidak! Tergantung pada paradigma memandang aspek cita dari kebenaran dan keadilan hukum. Menelaah hukum peraturan perundang-undangan, sebaiknya dilakukan secara holistic, memahami sikronisasi dan harmonisasi peraturan perundang-undangan, baik pada tingkat yang lebih tinggi atau yang setara. Telaahan holistic terhadap Qanun Jinayah, misalnya, kajian yang menghasilkan bahasan atau komentar, si penelaah atau reviewer atau komentator harus mencermatinya mulai dari materi pertimbangan, dasar hukum mengingat, batang tubuh, aturan peralihan, ketentuan pidana, dan penutup. Jadi jangan hanya sepotong membaca, lalu memberi komentar yang menghebohkan. Dan kemudian merasa lebih tahu dari orang lain yang telah puluhan tahun menggeluti ilmu hukum.
Inilah dia serunya ilmu hukum, sehingga ada yang bilang, bisa membaca saja berarti sudah dapat memberi komentar tentang qanun. Pada kolom terbatas ini, sebagai hanya referensi tambahan, saya mencoba mereview bagian menimbang (konsideran) Qanun Jinayah. Idealnya suatu qanun harus dapat mewujudkan aspek cita hukum untuk menimbulkan kemaslahatan atau kemanfaatan yang berkeadilan. Bukan melulu demi menciptakan kepastian hukum. Sangat disayangkan, jika kita cermati konsideran Qanun Jinayat kesan yang dapat ditimbulkannya semata-mata demi pemenuhan kepastian hukum. Pemikiran yang dikandung dalam konsideran tersebut sangat legisme positivistis yang memandang hukum hanya melulu untuk menimbulkan kepastian. Padahal, idealnya, kemaslahatan atau kemanfaatan (utilities) serta kebutuhan hukum rakyat harus lebih diutamakan daripada kepastian hukum.
Substansi konsideran Qanun Jinayah, menurut saya, masih tidak sarat muatan filososif dan sosilogis. Isinya lebih mengedepankan aspek juridis formal. Ini dapat dicermati bunyi konsideran tersebut. “bahwa untuk kesempurnaan aturan hukum materiel yang terkandung dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 12 Tahun 2003 tentang Khamar, Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 13 Tahun 2003 tentang Maisir (Perjudian), dan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 14 Tahun 2003 tentang Khalwat (Mesum) serta pelanggaran Syariat Islam lainnya, perlu adanya suatu pengaturan secara menyeluruh tentang hukum jinayat; bahwa untuk menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan dan penegakan nilai-nilai Syariat Islam, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, maka dipandang perlu untuk melakukan penyempurnaan hukum materiel terhadap Qanun dimaksud;
Muatan konsideran sebagaimana dinyatakan dalam Bagian Menimbang Qanun Jinayah itu, bagaikan regulasi ketimbang substansi materi konsideran sebuah legislasi. Bagian Menimbang — yang sedikit sekali orang mencermati dan menaruh perhatian terhadapnya — sebetulnya berisikan alasan hukum yang mengandung perspektif filosofis, sosiologis, dan juga juridis mengapa suatu undang-undang atau suatu qanun harus dibentuk. Sehingga Bagian Menimbang suatu produk legislasi (UU dan Qanun) berbeda dan harus dibedakan dengan materi pertimbangan dalam produk regulasi (PP, Perpres, Permen, Pergub/Perbup, dll).
Sebagai proses pembelajaran, silakan bandingkan materi menimbang dalam Qanun Jinayah dengan qanun-qanun lainnya, dan sebagai model silakan baca muatan menimbang pada UUPA yang sarat kandungan filosofis, sosiologis, dan juridis.
Selanjutnya, untuk mendapat pemahaman dan pelajaran, silakan periksa muatan pertimbangan yang terdapat dalam beberapa PP, Perpres, Perment, Pergub/Perbup. Ini baru hanya telaahan sebatas konsideran. Kita belum menelaah substansi batang tubuh, dan kandungan materi lainnya dari Qanun Jinayah Aceh.