in

Bantahan Terhadap Situs Dan Blog Penentang Manhaj Salafy Ahlussunnah(bag II), Abu Utsman Kharisman

Telah
terdapat suatu tulisan dalam beberapa blog penentang dakwah Ahlussunnah
dengan judul : Bukti Ibnu Taymiyah dan Al-Bany Taubat Dari Aqidah
Sesat. Pada tulisan itu mereka menjelaskan bukti (menurut
versi mereka) bahwa Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad Nashiruddin
al-Albaany telah bertaubat dalam aqidah tentang Asma’ Was Sifat menjadi
seorang Asy-‘ari. BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ
SALAFY AHLUSSUNNAH (BAG II)
الحمد لله , والصلاة والسلام على رسول الله .
SYUBHAT :
Telah terdapat suatu tulisan dalam beberapa blog
penentang dakwah Ahlussunnah dengan judul : Bukti Ibnu Taymiyah dan
Al-Bany Taubat Dari Aqidah Sesat. Pada tulisan itu mereka menjelaskan
bukti (menurut versi mereka) bahwa Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad
Nashiruddin al-Albaany telah bertaubat dalam aqidah tentang Asma’ Was
Sifat menjadi seorang Asy-‘ari.
Di dalam tulisan tersebut mereka
menukil tulisan Ibnu Hajar dalam kitab ad-Durar al-Kaminah fi a’yaan
mi-ah ats-tsaaminah cetakan 1414 H Daarul Jiel Juz 1 hal 148. Beberapa
kutipan yang mereka terjemahkan di antaranya :
“Dan para ulama telah
mendapati skrip yang telah ditulis oleh Ibnu Taimiah yang telahpun
diakui akannya sebelum itu (akidah salah ibnu taimiah sebelum bertaubat)
berkaitan dengan akidahnya bahawa Allah ta’ala berkata-kata dengan
suara, dan Allah beristawa dengan erti yang hakiki (iaitu duduk) dan
selain itu yang bertentangan dengan Ahl Haq (kebenaran)”. Telah berkata
Ibnu Taimiah dengan kehadiran saksi para ulama: ‘ Saya golongan Asy’ary’
dan mengangkat kitab Al-Asy’ariyah di atas kepalanya ( mengakuinya)”
…berkata Imam Nuwairy seperti yang dinyatakan juga oleh Imam Ibnu
Hajar Al-Asqolany : ” Dan aku antara saksi bahawa Ibnu Taimiah telah
bertaubat kepada Allah daripada akidah yang salah pada empat masaalah
akidah yang telah dinyatakan, dan Ibnu Taimiah telah mengucap dua
kalimah syahadah(bertaubat daripada akidah yang salah pernah dia pegangi
terdahulu)”. BANTAHAN :
Benarkah Ibnu Taimiyyah Bertaubat dan Menjadi Seorang Asy’ari?
Kalau
kita merujuk pada kitab Ibnu Hajar al-‘Asqolaany tersebut, akan
terlihat bahwa kisah bertaubatnya Ibnu Taimiyyah di hadapan majelis para
“Ulama’” waktu itu terjadi di tahun 707 H. Sedangkan Ibnu Taimiyyah
meninggal pada tahun 728 H. Sehingga, -kalaupun kisah ini benar- berarti
selama kurang lebih 21 tahun Ibnu Taimiyyah berpemahaman Asy’ari.
Benarkah demikian?
Pada tulisan ini akan dipaparkan bukti –bukti yang
menunjukkan bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidak pernah berubah
pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Penjelasan tentang hal tersebut akan
dibagi menjadi:
1. Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
2. Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
1). Bukti Bantahan dari Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah yang Ditulis Setelah 707 H.
Rujukan
kita adalah kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang ditulis
setelah 707 H atau setelah Ibnu Taimiyyah kembali dari Mesir. Bagaimana
kita bisa mengetahui bahwa kitab-kitab tertentu ditulis pada kurun waktu
tertentu? Bisa dilihat pada penjelasan di muqoddimah pentahqiq
kitab-kitab tersebut, keterangan yang menunjukkan bahwa kitab tersebut
diikhtisar (diringkas) oleh ulama’-ulama’ setelahnya, kitab-kitab lain
yang menjelaskan tentang tarjamah (biografi) beliau, ataupun
indikasi-indikasi lain yang menunjukkan hal tersebut.
Di antara
kitab-kitab yang beliau tulis setelah tahun 707 H adalah kitab Minhaajus
Sunnah anNabawiyyah sebagai bantahan terhadap kaum Syi’ah Rafidlah.
Pada kitab tersebut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah meluruskan pemahaman
Asy-ari yang salah tentang masalah ru’yatullah (kaum mu’minin melihat
Allah di akhirat) maupun penetapan sifat al-‘Uluw (ketinggian) bagi
Allah, dalam konteks membantah Syi’ah Rafidlah (bisa dilihat salah satu
contohnya adalah pada bagian ‘Kalaamur Roofidly ‘alaa Itsbaati
al-Asyaa-iroh liru’yatillah hal 340-352 maupun bagian ‘Kalaamur Raafidly
‘ala maqoolatil Asyaa-iroh fi Kalaamillaah’ hal 352-400. Ibnu Hajar
al-‘Asqolaany sendiri menjadikan kitab tersebut sebagai salah satu
rujukan dalam kitab Fathul Bari. Beliau menyebutkan dalam 3 tempat di
kitab Fathul Baari (1/182 bab Kitaabatul ‘Ilm,11/209 bab Qishshotu Abi
Tholib, dan 21/154 bab Qoulullaahi Ta’ala Wallaahu Kholaqokum wamaa
ta’maluun) dengan mengisyaratkan kitab tersebut sebagai ‘a-Radd ‘ala
ar-Rafidhy’.
Demikian juga kitab-kitab setelah 707 H yang ditulis
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang lain di antaranya : ar-Raddu ‘alal
Manthiqiyyiin, al-Jawabus Shohiih liman Baddala Dienal Masiih, dan
alFurqaan Bayna Awaliyaa-ir Rahmaan wa Awliyaaisy-Syaithan. Di dalam
kitab ‘alFurqaan’, pada halaman 12 Syaikhul Ibnu Taimiyyah menyebutkan
Sifat Allah yang mencintai wali-Nya dengan kecintaan yang sempurna.
Beliau tidaklah mentahrif Sifat ‘mencintai’ tersebut seperti tahrif yang
biasa dilakukan oleh Asy-‘ari dengan memalingkannya pada makna-makna
yang lain.
Dalam kitab al-Jawaabus Shohiih liman Baddala Dienal
Masiih juz 4 halaman 6 Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah membantah keyakinan
Nashara yang menyimpang, dengan menjelaskan Sifat al-Kalaam (berbicara)
bagi Allah sesuai dengan aqidah Ahlussunnah. Beliau juga tidak
memalingkan makna al-Kalaam tersebut pada makna yang lain, tetapi
memaknakannya secara hakiki. Perlu diketahui bahwa kitab al-Jawaabus
Shohiih liman Baddala Dienal Masiih adalah salah satu kitab yang
dijadikan rujukan oleh Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam Fathul Baari
(21/151).
Lebih telak lagi, kitab yang bisa membungkam syubuhat
bahwa Ibnu Taimiyyah berubah pemahaman menjadi Asy-ari adalah kitab
Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql yang ditulis beliau. Di dalamnya beliau
membantah kelompok – kelompok yang mengedepankan akal seperti
Mu’tazilah, al-Jahmiyyah, al-Maaturidiyyah, dan juga termasuk
al-‘Asyaa-iroh (Asy-‘ari). Pada juz 1 halaman 15, Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah menyebutkan kesesatan orang-orang yang mengingkari:
ru’yatullah (bahwa Allah bisa dilihat oleh orang beriman di akhirat) dan
ketinggian Allah di atas ‘Arsynya. Jika timbul pertanyaan : Kapankah
kitab Dar-u Ta’aarudhil ‘Aql wan Naql tersebut ditulis? Jawabannya :
kitab tersebut ditulis setelah beliau kembali ke Syam. Dr. Muhammad
Rosyad Salim menyatakan bahwa kitab itu ditulis sekitar tahun 713-717 H.
Kitab-kitab lain yang dikemukakan di atas sebagai bukti bahwa Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak berubah pemahaman menjadi
Asy-‘ari semuanya ditulis setelah kitab Dar-u Ta’arudhil ‘Aql wan Naql
ini. Sebagai contoh, di dalam kitab Minhaajus Sunnah anNabawiyyah
beberapa kali beliau mengisyaratkan rujukan pada kitab Dar’u Ta’aarudhil
‘Aql wan Naql.
2) Penjelasan dari Murid-Murid Ibnu Taimiyyah bahwa Beliau Tetap Kokoh pada Manhajnya.
Imam Adz-Dzahaby sebagai salah seorang murid Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitabnya alMu’jamul Mukhtash :
قد سجن غير مرة ليفتر عن خصومه ويقصر عن بسط لسانه وقلمه وهو لا يرجع ولا يلوي على ناصح إلى أن توفي
“Beliau
telah dipenjara berkali-kali untuk memutuskan permusuhannya (terhadap
ahlul bid’ah,pent) dan mengurangi ‘tajamnya’ lisan dan pena
beliau,tetapi beliau tidaklah rujuk (mundur) maupun melunak sampai
beliau meninggal”
Pada bagian lain Imam AdzDzahaby juga menyatakan di dalam kitab tersebut:
حتى
قام عليه خلق من علما مصروالشام قياما . وهو ثابت لا يداهن ولا يحابي ، بل
يقول الحق المرّ الذي أداه إليه إجتهاده وحِدّة ذهنه وسعة دائرته في السنن
و الأقوال
“ Sampai bangkitlah sekelompok Ulama dari Mesir dan
Syam…dalam keadaan beliau tetap kokoh, tidak mencari muka ataupun
berbasa-basi, akan tetapi beliau tetaplah mengucapkan kebenaran yang
pahit berdasarkan ijtihadnya, tajamnya pikiran, dan luasnya wawasan
tentang Sunnah – sunnah dan ucapan-ucapan”
Imam Ibnu Katsir yang juga merupakan murid Ibnu Taimiyyah menyatakan :
وفي
ليلة عيد الفطر أحضر الامير سيف الدين سلار نائب مصر القضاة الثلاثة
وجماعة من الفقهاء فالقضاة الشافعي والمالكي والحنفي، والفقهاء الباجي
والجزري والنمراوي، وتكلموا في إخراج الشيخ تقي الدين بن تيمية من الحبس،
فاشترط بعض الحاضرين عليه شروطا بذلك، منها أنه يلتزم بالرجوع عن بعض
العقيدة وأرسلوا إليه ليحضر ليتكلموا معه في ذلك، فامتنع من الحضور وصمم،
وتكررت الرسل إليه ست مرات، فصمم على عدم الحضور، ولم يلتفت إليهم ولم
يعدهم شيئا، فطال عليهم المجلس فتفرقوا وانصرفوا غير مأجورين
“ dan pada
malam Iedul Fithri al-Amiir menghadirkan Saifuddin Salaar perwakilan
Mesir, 3 hakim, dan sekelompok Fuqaha’. Tiga hakim tersebut adalah dari
madzhab Asy-Syafi’I, al-Maaliki, dan alHanafy, sedangkan fuqaha’ yang
hadir adalah al-Baaji, al-Jazarii, dan anNamrowy, dan mereka
mengharapkan agar Syaikh Taqiyuddin bin Taimiyyah dikeluarkan dari
penjara. Sebagian hadirin mempersyaratkan beberapa syarat, di antaranya :
beliau harus ruju’ dari sebagaian aqidah dan mereka mengirim utusan
agar beliau hadir di tempat itu dan berbicara kepada mereka. Tetapi
beliau menolak hadir (ke majelis tersebut) dan berketetapan hati (untuk
tidak hadir). Utusan itu kembali sampai 6 kali. Beliau tetap kokoh pada
pendirian untuk tidak hadir, tidak menoleh pada mereka, dan tidak
menjanjikan apapun. Maka majelis itupun bubar dan merekapun kembali
tanpa mendapat balasan” (al-Bidayah wan Nihaayah juz 14 hal 47)
Dari
penjelasan di atas nampaklah secara gamblang bahwa Syaikhul Islam Ibn
Taimiyyah tidaklah berubah pemahaman menjadi seorang Asy-‘ari. Pemahaman
beliau terhadap Asma’ Was Sifaat tetap tidak berubah sebagaimana yang
dipahami Salafus Sholih, yaitu meyakininya tanpa tahriif ( meyimpangkan
lafadz atau maknanya pada makna yang hakiki), tidak juga ta’thiil
(menolak), atau takyiif (menentukan/ menanyakan kaifiyatnya), dan
tamtsiil (menyerupakan Sifat Allah dengan sifat makhluk). Pemahaman
tersebut tidaklah berubah sebagaimana yang beliau nyatakan dalam
al-‘Aqiidah al- Waasithiyyah yang terus dikaji oleh kaum muslimin sampai
saat ini.
Pembelaan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
Al-Hafidz
as-Sakhowy menukil perkataan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany dalam kitabnya
al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736. Di antara perkataan Ibnu Hajar
tersebut adalah :
. ولقد قام على الشيخ تقي الدين جماعة من العلماء
مراراً ، بسبب أشياء أنكروها عليه من الأصول والفروع ، وعقدت له بسبب ذلك
عدة مجالس بالقاهرة ، وبدمشق ، ولا يحفظ عن أحد منهم أنه أفتى بزندقته ،
ولا حكم بسفك دمه مع شدة المتعصبين عليه حينئذ من أهل الدولة ، حتى حبس
بالقاهرة ، ثم بالإسكندرية ، ومع ذلك فكلهم معترف بسعة علمه ، وكثرة ورعه ،
وزهده ، ووصفه بالسخاء ، والشجاعة ، وغير ذلك من قيامه في نصر الإسلام ،
والدعوة إلى الله تعالى في السر والعلانية ، فكيف لا يُنكر على مَن أطلق ”
أنه كافر “
“. dan sungguh para Ulama’ telah bangkit terhadap Syaikh
Taqiyuddin berkali-kali dengan sebab-sebab yang mereka ingkari dari
permasalahan ushul dan furu’, dan beberapa kali mengadakan majelis di
Kairo maupun Damaskus. Dan tidaklah ada ternukil sedikitpun dari mereka
yang memfatwakan bahwa beliau adalah zindiq, dan tidak ada yang
menghukumi halalnya darah beliau padahal pada waktu itu banyak yang
fanatik terhadap beliau dari kalangan penduduk negeri. Sampai beliau
dipenjara di Mesir kemudian di alIskandariyah. Bersamaan dengan itu
semuanya mengakui luasnya ilmu beliau, banyaknya sikap wara’ dan zuhud
beliau, dan mereka mensifati beliau dengan dermawan (pemurah),
keberanian, dan yang selain itu berupa pembelaan terhadap Islam, dakwah
kepada Allah secara sembunyi-sembunyi maupun terang terangan. Maka,
bagaimana tidak diingkari orang-orang yang menyebut beliau sebagai
‘kafir’ ”
فإنه شيخ في الإسلام بلا ريب
“. beliau adalah Syaikhul Islam tanpa diragukan lagi”
ومع
ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه – وهو الأكثر – يستفاد منه ،
ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه ، بل هو معذور ؛ لأن أئمة
عصره شهدوا له بأن أدوات الاجتهاد اجتمعت فيه ، حتى كان أشد المتعصبين عليه
، والقائمين في إيصال الشر إليه ، وهو الشيخ كمال الدين الزملكاني ، يشهد
له بذلك ، وكذلك الشيخ صدر الدين بن الوكيل
“. bersamaan dengan itu
beliau adalah manusia yang bisa salah dan bisa benar. Pendapat beliau
yang benar – yang ini sangat banyak- bisa diambil faedah, dan didoakan
agar beliau mendapat rahmat dari Allah dengan sebab tersebut, sedangkan
pendapat beliau yang salah tidak diikuti, bahkan dimaafkan. Karena
ulama’ yang sejaman dengan beliau mempersaksikan bahwa perangkat untuk
berijtihad telah terkumpul pada beliau, sampai-sampai orang yang sangat
fanatik permusuhannya terhadap beliau dan yang selalu berusaha
menyampaikan keburukan terhadap beliau : Syaikh Kamaluddin az-Zamlakaany
mempersaksikan hal itu, demikian juga dengan Syaikh Shodruddin bin
alWakiil”
ولو لم يكن للشيخ تقي الدين من المناقب إلا تلميذه الشهير
الشيخ شمس الدين بن قيم الجوزية صاحب التصانيف النافعة السائرة التي انتفع
بها الموافق والمخالف : لكان غاية في الدلالة على عظم منزلته ، فكيف وقد
شهد له بالتقدم في العلوم ، والتميز في المنطوق والمفهوم أئمة عصره من
الشافعية وغيرهم ، فضلاً عن الحنابلة
“ Kalaulah tidak ada keutamaan
lain dari Syaikh Taqiyuddin (Ibnu Taimiyyah) kecuali muridnya yang
terkenal Syamsuddin Ibn Qoyyim al-Jauziyyah, yang memiliki karya-karya
tulis yang bermanfaat bagi pendukung maupun penentangnya, niscaya
cukuplah sebagai bukti agungnya kedudukan beliau. Maka bagaimana
(tidak), padahal para Ulama’ pada zaman beliau dari kalangan Syafiiyah
dan selainnya, apalagi dari Hanabilah telah mempersaksikan keunggulan
beliau dalam ilmu, dan keistimewaan beliau dalam ucapan dan pemahaman”.
(al-Jawaahir wad Durar juz 2 hal 734-736).
Ibnu Hajar al-‘Asqolaany Banyak Menjadikan Pendapat Ibnu Taimiyyah sebagai Rujukan
Di
dalam kitabnya Fathul Baari Syarh Shohih al-Bukhari al-Hafidz Ibnu
Hajar al-‘Asqolaany menyebutkan pendapat Ibnu Taimiyyah tidak kurang
dari 25 kali. Beberapa yang bisa dinukil di sini :
Ketika menyebutkan
pendapat Ulama’ tentang makna siksaan bagi mayit karena sebab ratapan
yang dilakukan keluarganya, beliau menyatakan :
مَعْنَى التَّعْذِيب
تَأَلُّم الْمَيِّت بِمَا يَقَع مِنْ أَهْله مِنْ النِّيَاحَة وَغَيْرهَا ،
وَهَذَا اِخْتِيَار أَبِي جَعْفَر الطَّبَرِيّ مِنْ الْمُتَقَدِّمِينَ ،
وَرَجَّحَهُ اِبْن الْمُرَابِط وَعِيَاض وَمَنْ تَبِعَهُ وَنَصَرَهُ اِبْن
تَيْمِيَة وَجَمَاعَة مِنْ الْمُتَأَخِّرِينَ ، وَاسْتَشْهَدُوا لَهُ
بِحَدِيثِ قَيْلَة بِنْت مَخْرَمَة
“ Makna ‘penyiksaan’ adalah
perasaan sakit si mayit karena apa yang terjadi dari keluarganya berupa
ratapan atau semisalnya. Ini adalah pendapat dari Abu Ja’far atThobary
dari kalangan mutaqoddimin, dan dirajihkan oleh Ibnul Muqoobith dan
‘Iyaadl, dan pengikutnya, pendapat ini juga dikuatkan oleh Ibnu
Taimiyyah dan para Ulama dari kalangan mutaakhkhirin, dan mereka
berdalil dengan hadits Qoylah binti Makhromah “ (Fathul Baari juz 4
halaman 327).
Pada saat menjelaskan pendapat para Ulama’ tentang anak-anak orang musyrik yang meninggal dunia, Ibnu Hajar menyatakan :
سَادِسهَا
هُمْ فِي النَّار حَكَاهُ عِيَاض عَنْ أَحْمَد ، وَغَلَّطَهُ اِبْن
تَيْمِيَة بِأَنَّهُ قَوْل لِبَعْضِ أَصْحَابه وَلَا يُحْفَظ عَنْ
الْإِمَام أَصْلًا
“Pendapat yang ke-enam : mereka berada di anNaar
(neraka). Pendapat ini dihikayatkan oleh ‘Iyaadl dari Imam Ahmad. Tetapi
(hikayat) ini disalahkan oleh Ibnu Taimiyyah, bahwasanya itu adalah
perkataan sebagian sahabat (Imam Ahmad), dan tidaklah terjaga (ternukil)
dari Imam (Ahmad) sama sekali”(Fathul Baari juz 4 halaman 462).
Ketika menyebutkan pendapat Ulama’ tentang manakah yang lebih utama antara 2 Ummul Mu’minin Khadijah dan ‘Aisyah :
وَقَالَ اِبْن تَيْمِيَة : جِهَات الْفَضْل بَيْن خَدِيجَة وَعَائِشَة مُتَقَارِبَة . وَكَأَنَّهُ رَأَى التَّوَقُّف

dan berkata Ibnu Taimiyyah : ‘ Sisi-sisi keutamaan antara Khadijah dan
Aisyah sangat berdekatan’. Seakan-akan beliau berpendapat tawaqquf
(tidak merajihkan) “ (Fathul Baari juz 11 halaman 78)
Pada saat menjelaskan tentang nama asli dari Abu Thalib :
قَوْله : ( بَاب قِصَّة أَبِي طَالِب )
وَاسْمه
عِنْد الْجَمِيع عَبْد مَنَافٍ ، وَشَذَّ مَنْ قَالَ عِمْرَان ، بَلْ هُوَ
قَوْل بَاطِل نَقَلَهُ اِبْن تَيْمِيَة فِي كِتَاب الرَّدّ عَلَى
الرَّافِضِيّ أَنَّ بَعْض الرَّوَافِض زَعَمَ أَنَّ قَوْله تَعَالَى : (
إِنَّ اللَّه اِصْطَفَى آدَم وَنُوحًا وَآلَ إِبْرَاهِيم وَآلَ عِمْرَان )
أَنَّ آلَ عِمْرَان هُمْ آلُ أَبِي طَالِب وَأَنَّ اِسْم أَبِي طَالِب
عِمْرَان وَاشْتُهِرَ بِكُنْيَتِهِ
“ Perkataan beliau (Imam
al-Bukhari) : Bab Kisah Abu Thalib. Namanya (Abu Tholib) berdasarkan
pendapat seluruh Ulama’ adalah Abdu Manaf. Pendapat yang ganjil (aneh)
bagi yang berpendapat bahwa namanya adalah ‘Imran. Bahkan itu adalah
pendapat yang batil, sebagaimana dinukil oleh Ibnu Taimiyyah dalam
kitabnya arRadd alar Raafidli bahwa sebagian orang Syiah Rafidlah
menyangka bahwa firman Allah (Q. S Ali Imran :33,pent) : “Sesungguhnya
Allah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran” , bahwa
yang dimaksud dengan keluarga Imran adalah keluarga Abu Thalib dan
bahwasanya nama Abu Thalib adalah Imran dan terkenal dengan kunyah
(gelar)nya”(Fathul Baari juz 11 halaman 209).
Contoh nukilan di atas
hanyalah beberapa contoh yang menunjukkan bahwa Ibnu Hajar
al-‘Asqolaany banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah sebagai rujukan
dalam kitabnya Fathul Baari. Di dalam kitab atTalkhiisul Habiir, Ibnu
Hajar juga banyak menjadikan perkataan Ibnu Taimiyyah. Di antaranya
adalah :
Ketika menyebutkan hadits :
الْفَقْرُ فَخْرِي وَبِهِ أَفْتَخِرُ
“ Kefakiran adalah kebanggaanku, dan dengannya aku berbangga”.
Ibnu Hajar menyatakan :
وَهَذَا
الْحَدِيثُ سُئِلَ عَنْهُ الْحَافِظُ ابْنُ تَيْمِيَّةَ ؟ فَقَالَ :
إنَّهُ كَذِبٌ لَا يُعْرَفُ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْمُسْلِمِينَ
الْمَرْوِيَّةِ ، وَجَزَمَ الصَّنْعَانِيُّ بِأَنَّهُ مَوْضُوعٌ

Hadits ini ditanyakan kepada al-Hafidz Ibnu Taimiyyah : maka beliau
berkata : ‘Sesungguhnya itu adalah dusta, dan tidaklah diketahui
sedikitpun (terdapat) dalam kitab-kitab yang diriwayatkan kaum
muslimin’. Dan As-Shon’aany memastikan bahwa hadits tersebut palsu”
(atTalkhiisul Habiir juz 4 halaman 156).
Demikianlah, saudaraku kaum
muslimin, semoga Allah merahmati kita semua. Dari paparan di atas
jelaslah bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah tidaklah pernah berubah
pemahaman menjadi seorang ‘Asy-ari. Jika ada orang yang meragukan
ketokohan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah sebagai seorang Ulama’
Ahlussunnah, maka cukuplah kita telah sebutkan pengakuan dari Ibnu Hajar
al-‘Asqolaany berupa pujian-pujian terhadap beliau. Sangat banyak
pujian para Ulama’ terhadap beliau, tak terhitung. Namun dalam tulisan
ini kami cukupkan pada penjelasan Ibnu Hajar al-‘Asqolaany, karena juga
banyak saudara kita yang terpengaruh membenci Ibnu Taimiyyah (tanpa tahu
keadaan sebenarnya tentang beliau) namun mereka masih memulyakan Ibnu
Hajar al-‘Asqolaany sebagai salah satu Ulama’ panutan. Belum lagi kami
paparkan pujian Ibnu Hajar al-‘Asqolaany terhadap murid-murid Ibnu
Taimiyyah dan menjadikan pendapat mereka sebagai rujukan.
Semoga Allah senantiasa memberikan hidayah dan limpahan rahmatNya kepada seluruh kaum muslimin……
Wallaahu Ta’ala A’lam BisShowaab .
Ditulis oleh Abu Utsman Kharisman untuk www. darussalaf. or. id
Rujukan :
1. www. islam-qa. com/ar/ref/96323
2. saaid. net/monawein/taimiah/27. htm
3. Kitab-kitab Ibnu Taimiyyah (terkemas dalam software : maowsoatibntaimia01.
4. Fathul Baari (Maktabah AsySyaamilah)
5. Al-Bidaayah wan Nihaayah (Maktabah AsySyaamilah)
6. At-Talkhiisul Habiir (Maktabah AsySyaamilah) sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Abu Utsman Kharisman

BELAJAR SALAF: Kaidah Penerapan Sunnah : Pastikan Ke-Shahih-annya

Pemerintah Indonesia, Masihkah Layak Ditaati?