in

Abul-Jauzaa Blog – !! كن سلفياً على الجادة: Hukum Asal Muslim

Ringkasan poin-poinnya adalah sebagai
berikut:
1.   
Asal seorang
muslim adalah selamat dari celaan dan kefasikan
Asy-Syaikh Shaalih
bin ‘Abdil-Aziiz Aalusy-Syaikh hafidhahullah berkata:
الأصل في المسلم السلامة، ليس الأصل في المسلم الشك، ليس الأصل
في المسلم ظن السوء الأصل في المسلم، ولو كان عنده ما لا ينبغي من الأعمال
والأقوال؛ لكن الأصل فيه السلامة

“Asal seorang
muslim adalah selamat. Asal seorang muslim bukan keragu-raguan, bukan pula
prasangka jelek. Meskipun padanya terdapat beberapa perkataan dan perbuatan
yang tak pantas, namun asal dari seorang muslim adalah selamat….” [Transkrip
kaset Al-Wasathiyyah wal-I’tidaal].

Dalilnya diantaranya
adalah sabda Nabi
:
لاَ
تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَاجَشُوا وَلاَ تَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبِعْ
بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوا عِبَادَ اللهِ إِخْوَاناً. الْمُسْلِمُ
أَخُو الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَكْذِبُهُ وَلاَ
يَحْقِرُهُ. التَّقْوَى هَهُنَا –وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ –
بِحَسَبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ، كُلُّ
الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Janganlah
kalian saling dengki, saling menipu, saling marah dan saling memutuskan
hubungan. Dan janganlah kalian menjual sesuatu yang telah dijual kepada orang
lain. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim adalah
saudara bagi muslim yang lainnya, (ia) tidak mendhaliminya, tidak
menelantarkannya, tidak mendustakannya, dan tidak menghinanya. Taqwa itu disini
– beliau berisyarat ke dadanya sebanyak tiga kali – . Cukuplah seorang muslim
dikatakan buruk apabila ia menghina saudaranya yang muslim. Setiap muslim atas
muslim yang lain, haram darahnya, hartanya dan kehormatannya

[Diriwayatkan oleh Muslim no. 2564].
2.   
Dikecualikan apabila
nampak dengan jelas sesuatu yang bertentangan dengannya. Hal ini sebagaimana
dijelaskan oleh Asy-Syaikh Al-Albaaniy rahimahullah:
أن
الأصل في المسلم إحسان الظن به، إلا إذا عُرف بعناده وإصراره على باطله
“Bahwasannya
asal seorang muslim adalah berbaik sangka kepadanya, kecuali apabila diketahui
dirinya keras kepala dan terus-menerus dalam kebathilannya” [Adz-Dzabbul-Ahmad
hal. 41].
Asy-Syaikh ‘Abdul-Muhsin
Al-‘Abbaad hafidhahullah berkata:
الأصل
في المسلم أنه لا يجرح ولا يعدل إلا بعد وجود ما يقتضي التجريح أو التعديل، ولذلك
لم نقبل حديث المجهول الحال أو العين
“Asal seorang muslim
adalah ia tidak diberikan jarh maupun ta’diil, kecuali setelah
adanya sesuatu yang menuntut adanya tajriih atau ta’diil. Karena
itu, kita tidak menerima hadits orang yang majhuul haal atau majhuul ‘ain
[Ithaaful-‘Ibaad bi-Fawaaidi Duruus Asy-Syaikh Al-‘Abbaad, hal. 130].
Asy-Syaikh Shaalih
Al-Fauzaan hafidhahullah : “Asal seorang muslim adalah  mempunyai sifat keadilan (‘adaalah),
selama tidak nampak jelas darinya sesuatu yang menyelisihinya. Berprasangka
baik kepadanya kepada saudara-saudara kita yang muslim selama tidak nampak
jelas darinya sesuatu yang menyelisihinya…..”.
Berikut rekaman
singkat penjelasan syaikh:

3.   
Perkara takfiir dan tabdii’
seorang muslim adalah penghukuman sesuatu yang KELUAR dari
hukum asalnya.
Dikarenakan asal
seorang muslim adalah selamat, maka dalam takfiir (menghukumi seseorang
sebagai kafir/murtad) dan tabdii’ (menghukumi seseorang sebagai ahlul-ahwa’/bida’)
harus dengan KEPASTIAN 
dan sesuai rambu-rambu (kaidah)
yang dijelaskan para ulama kita. Ini sesuai dengan kaidah fiqhiyyah syar’iyyah
seperti:
الأصل
بقاء ما كان على ما كان
“Hukum asal suatu
perkara tetap pada asalnya”.
الرجوع
للأصل عند الشك
“Hukum kembali pada
asalnya ketika ada keraguan”.
Atau perkataan
Ibnul-Mundzir rahimahullah dalam masalah thaharah:
إذا
تطهَّرَ الرَّجُلُ فهو على طهارته ، إلا أن تَدُلَّ حُجَّةٌ على نقضِ طهارته
“Apabila seseorang
bersuci, maka ia tetap dalam kesuciannya kecuali ada hujjah/dalil yang
menunjukkan atas batalnya kesucian orang tersebut”
[Al-Ausath, 1/230].
Hukum asal orang yang
melakukan perkara menyelisihi syari’at adalah peniadaan takfiir dan
tabdii’ padanya. Takfiir dan tabdii’ itu jatuh secara
personal apabila memenuhi syarat-syaratnya.
Apabila kita melihat
seorang muslim melakukan kekufuran, apakah kita boleh langsung menghukuminya
dengan kekafiran (murtad)?. Jawabnya tidak, kecuali jika terpenuhi
syarat-syaratnya dan hilangnya penghalang-penghalangnya. Jika tidak atau belum
terpenuhi syarat dan hilang penghalangnya, maka dikembalikan pada hukum asalnya sebagai muslim. Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Dan tidak boleh bagi
seorangpun mengkafirkan orang lain dari kaum muslimin – walau ia bersalah dan
keliru – sampai ditegakkan padanya hujjah dan dijelaskan kepadanya bukti dan
alasan.
Barangsiapa yang telah tetap keislamannya dengan yakin, maka tidaklah hilang
darinya hanya karena sebuah keraguan. Bahkan tidak hilang kecuali setelah
ditegakkan kepadanya hujjah dan dihilangkan darinya syubhat” [Majmuu’
Al-Fataawaa
, 12/466].
Bahkan ketika
dihadapkan 99 kemungkinan untuk menghukumi seseorang sebagai kafir sementara masih tersisa satu kemungkinan untuk
menafikkannya; maka ia tetap dikembalikan pada hukum asalnya sebagai muslim. ‘Aliy
Al-Qaariy rahimahullah berkata:
“Para ulama
menyebutkan bahwa permasalahan yang terkait dengan kekafiran apabila ia
memiliki 99 kemungkinan kekafiran dan 1 kemungkinan yang menafikkannya, maka
yang lebih utama bagi seorang mufti atau qadli (hakim) untuk mengambil
kemungkinan penafikkan (yaitu tidak kafir – Abul-Jauzaa’). Karena
keliru dalam membiarkan seribu orang kafir lebih ringan daripada keliru dalam
membunuh satu orang muslim” [Syarh Al-Fiqhil-Akbar, hal. 162].
Semisalnya adalah perkataan
Muhammad bin ‘Abdil-‘Adhiim Az-Zarqaaniy rahimahullah:
“Para para ulama kita
telah menetapkan bahwa sebuah kalimat apabila mempunyai kemungkinan kekufuran dari 99
sisi, lalu ada kemungkinan keimanan dari satu sisi; maka dibawa kepada
sebaik-baik kemungkinan, yaitu keimanan. Ini adalah permasalahan yang pasti dan
tidak perlu ditanyakan lagi serta memiliki dalil yang kuat” [Manaahilul-‘Irfaan,
2/31].
Inilah manhaj Ahlus-Sunnah.
Btw, ada kaidah yang
lucu, tapi nyata ada yang mempraktekkan. Secara ringkas begini:
Seorang muslim
yang melakukan kekufuran dihukumi kafir (murtad). Sesuai dengan yang
nampak. Ia tidak kafir (murtad) apabila tidak terpenuhi syaratnya dan terdapat penghalangnya.
Konsekuensi penerapannya, jika kita melihat seorang muslim yang melakukan
kekufuran, kita langsung menghukumi dirinya dengan kafir/murtad. Kita tidak menghukumi kafir
jika kita mendapat informasi bahwa dirinya (misalnya saja) keliru, jahil, atau
terpaksa. Hukum kafir jatuh dulu, pemastian belakangan….
Ini kan jadi kacau
dan kebalik-balik.
Begitu pula dengan tabdii’.
Kita tidak mengatakan secara serampangan setiap muslim yang melakukan kebid’ahan – apapun jenis/bentuknya
– adalah ahli bid’ah. Para ulama telah menjelaskan bahwa bid’ah yang
menyebabkan seseorang dapat divonis sebagai ahlul-bid’ah keluar dari lingkup
Ahlis-Sunnah adalah bid’ah-bid’ah besar yang jelas menyelisihi Al-Qur’an,
As-Sunnah, dan ijmaa’.
Yuusuf bin Asbath rahimahullah
berkata:
أُصُولُ
الْبِدَعِ أَرْبَعٌ: الرَّوَافِضُ، وَالْخَوَارِجُ، وَالْقَدَرِيَّةُ،
وَالْمُرْجِئَةُ، ثُمَّ تَتَشَعَّبُ كُلُّ فِرْقَةٍ ثَمَانِيَ عَشْرَةَ طَائِفَةً،
فَتِلْكَ اثْنَتَانِ وَسَبْعُونَ فِرْقَةً، وَالثَّالِثَةُ وَالسَّبْعُونَ
الْجَمَاعَةُ الَّتِي قَالَ النَّبِيُّ ﷺ: إِنَّهَا النَّاجِيَةُ
“Pokok-pokok
kebid’ahan ada 4 (empat), yaitu Raafidlah, Khawaarij, Qadariyyah, dan Murji’ah.
Kemudian masing-masing firqah tersebut bercabang-cabang lagi menjadi 18
golongan sehingga totalnya menjadi 72 firqah. Dan yang ke-73 adalah Al-Jamaa’ah
yang disabdakan Nabi
: ‘Inilah firqah/kelompok yang selamat”
[Diriwayatkan oleh Al-Aajurriy dalam Asy-Syarii’ah no. 17].
Senada dengan hal di
atas adalah penjelasan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah:
الْبِدْعَةُ
الَّتِي يُعَدُّ بِهَا الرَّجُلُ مِنْ أَهْلِ الْأَهْوَاءِ مَا اشْتَهَرَ عِنْدَ
أَهْلِ الْعِلْمِ بِالسُّنَّةِ مُخَالَفَتُهَا لِلْكِتَابِ وَالسُّنَّةِ:
كَبِدْعَةِ الْخَوَارِجِ، وَالرَّوَافِضِ، وَالْقَدَرِيَّةِ، وَالْمُرْجِئَةِ
“Bid’ah yang
menyebabkan pelakunya terhitung sebagai pengikut hawa nafsu adalah bid’ah yang
terkenal di kalangan ulama Ahlus-Sunnah yang menyelisihi Al-Qur’an dan
As-Sunnah (secara jelas), seperti bid’ah Khawaarij, Rafidlah, Qadariyyah, dan
Murji’ah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 35/414].
4.   
Perlu dibedakan
antara takfir nau’ (mutlak) dan ‘ain.
Syaikhul-Islaam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah menjelaskan:
“Dan yang tepat
/benar dalam masalah ini, bahwa kadangkala suatu perkataan merupakan kekufuran,
sebagaimana halnya dengan perkataan-perkataan orang-orang Jahmiyyah yang
mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah tidak berbicara, dan tidak bisa dilihat kelak
diakhirat’. Akan tetapi kadangkala hal itu tersembunyi/samar bagi sebagian
orang bahwasannya hal itu termasuk kekufuran, sehingga dimutlakkan ucapan
pengkafiran kepada orang yang mengucapkannya. Hal itu sebagaimana dikatakan
oleh salaf : ‘Barangsiapa yang mengatakan Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia
kafir. Dan barangsiapa yang mengatakan Allah tidak dapat dilihat di akhirat,
maka ia kafir’. Dan tidaklah dikafirkan orang tertentu, sampai tegak padanya
hujjah” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/619].
“Dan pokok yang kedua
: Sesungguhnya takfir secara umum adalah seperti ancaman secara umum, wajib
untuk mengatakannya dengan kemutlakan dan keumumannya.
Adapun hukum terhadap
individu bahwasannya ia kafir atau memastikannya masuk neraka, maka hal ini
tegak berdasarkan dalil mu’ayyan, karena hukum (takfir mu’ayyan) tegak
berdasarkan terpenuhinya syarat-syarat dan hilangnya penghalang-penghalangnya”
[idem, 12/498].
“Demikianlah,
sementara aku senantiasa (memperingatkan) – dan orang-orang yang bermajelis
denganku mengetahui hal tersebut – bahwa aku termasuk orang yang paling keras
melarang menisbatkan individu tertentu kepada kekufuran, kefasiqan dan maksiat,
kecuali apabila telah diketahui bahwa telah ditegakkan hujjah risaaliyyah
kepadanya, di mana orang yang menyelisihi hal itu terkadang menjadi kafir, atau
terkadang menjadi fasiq, atau terkadang menjadi pelaku maksiat. Dan aku
tegaskan bahwa Allah telah mengampuni kekeliruan umat ini, di mana hal ini
mencakup kekeliruan dalam masalah khabariyyah qauliyyah (keyakinan/’aqidah)
maupun masalah ‘amaliyyah. Dan kaum salaf senantiasa saling berbeda pendapat
dalam banyak permasalahan tersebut, namun tidak seorang pun dari mereka yang
bersaksi atas yang lain dengan kekufuran, kefasiqan dan kemaksiatan…” [idem,
3/229].
[abul-jauzaa’
– 1 Sya’ban 1441 H].








Abul-Jauzaa Blog – !! كن سلفياً على الجادة: Adab Bro….

Abul-Jauzaa Blog – !! كن سلفياً على الجادة: Fitnah Nasab