
Para
ulama ahli ushul fiqh berbeda pandangan tentang bagaimana penyikapan seorang
awam terhadap perbedaan pendapat di kalangan ulama. Ada yang mengatakan bahwa
awam mengambil pendapat ulama yang ia pandang paling berilmu dan paling wara’.
Ini adalah satu riwayat yang ternukil dari Ahmad bin Hanbal, Ibnus-Suraij dari
kalangan Syaafi’iyyah, dan mayoritas ulama ushul rahimahumullah. Ada
yang mengatakan bahwa orang awam bebas memilih ulama siapa saja yang ia pandang
pendapatnya sesuai dengan kebenaran; dan ini adalah pendapat sebagian
Syaafi’iyyah dan Hanaabilah. Ada yang mengatakan hendaknya mengambil pendapat
yang paling berat; ini adalah pendapat yang dihikayatkan dari Dhaahiriyyah.
Sebaliknya, ada yang berpendapat agar mengambil pendapat paling mudah dan
ringan. Dan ada pula yang berpendapat orang awam bertanya kepada setiap
mujtahid/ulama dalil yang mereka pakai, lalu ia berusaha/berijtihad darinya dan
beramal dengan pendapat yang rajih menurut penilaiannya. Ini adalah pendapat
Ibnul-Qayyim dalam I’laamul-Muwaqqi’iin.
bagi setiap orang berusaha mencari kebenaran, memohon petunjuk (kepada Allah ﷻ) agar dapat menerima, memahaminya, dan
mengikutinya darimanapun kebenaran tersebut datang. Diriwayatkan dari Mu’aadz
bin Jabal radliyallaahu ‘anhu, ia berkata:
بِهِ; وَإِنْ كَانَ كَافِرًا -أَوْ قَالَ فَاجِرًا- وَاحْذَرُوا زَيْغَةَ
اَلْحَكِيمِ، قَالُوا: كَيْفَ نَعْلَمُ أَنَّ اَلْكَافِرَ يَقُولُ كَلِمَةَ
الْحَقِّ؟ قَالَ: إِنَّ عَلَى اَلْحَقِّ نُورًا
kebenaran dari siapapun yang membawanya, meskipun dirinya orang kafir atau
faajir. Dan waspadalah penyimpangan/kesalahan seorang yang bijak”.
Orang-orang bertanya : “Bagaimana kami bisa mengetahui orang kafir mengucapkan
kalimat kebenaran?”. Mu’aadz berkata : “Sesungguhnya di atas kebenaran itu ada
cahaya” [Dibawakan oleh Ibnu Taimiyyah
dalam Majmuu’ Al-Fataawaa 5/102].
اخْتَلَفُوا فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وَاللَّهُ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ إِلَى
صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Allah memberi petunjuk orang-orang yang beriman kepada kebenaran tentang hal
yang mereka perselisihkan itu dengan kehendak-Nya. Dan Allah selalu memberi petunjuk
orang yang dikehendaki-Nya kepada jalan yang lurus” [QS. Al-Baqarah : 213].
doa istiftah shalat malam, kita dianjurkan membaca doa agar diberikan petunjuk
dan ditetapkan di atas kebenaran:
وَمِيكَائِيلَ، وَإِسْرَافِيلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ، عَالِمَ
الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ
يَخْتَلِفُونَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ
تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Allah, Rabb bagi Jibriil, Mikaaiil dan Israafiil, Pencipta langit dan bumi,
Yang mengetahui hal yang ghaib dan yang nampak. Engkaulah yang menetapkan
keputusan diantara para hamba dalam berbagai hal yang mereka perselisihkan. Berilah
aku petunjuk akan kebenaran dalam hal-hal yang diperselisihkan dengan izin-Mu,
sesungguhnya Engkau itu memberi petunjuk kepada siapa saja yang Engkau
kehendaki untuk menuju jalan yang lurus” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 770].
perkataan ‘Berilah aku petunjuk akan kebenaran dalam hal-hal yang
diperselisihkan dengan izin-Mu’ adalah tetapkanlah aku di atas kebenaran
sebagaimana firman Allah ﷻ:
kami petunjuk pada jalan yang lurus” [QS. Al-Faatihah : 6].
ada seorang pun setelah Nabi ﷺ yang kebenaran selalu ikut bersamanya
dalam semua perkataan (fatwa) dan perbuatannya. Nabi ﷺ bersabda:
الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
anak Adam banyak berbuat kesalahan, dan sebaik-baik orang yang banyak berbuat
kesalahan adalah orang-orang yang banyak bertaubat” [Diriwayatkan oleh
At-Tirmidziy no. 2499, Ahmad 3/198, Ibnu Abi Syaibah 13/187, dan yang lainnya;
dishahihkan oleh Al-Albaaniy dalam Shahiih Sunan At-Tirmidziy 2/604].
permasalahan tawanan perang Badr, kebenaran ada pada perkataan ‘Umar bin
Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu yang memberikan saran untuk membunuh
mereka. Berbeda dengan saran Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa untuk
menerima tebusan. Allah ﷻ
membenarkan perkataan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu dengan menurunkan Surat
Al-Anfaal ayat 67-69.
Di lain waktu, kebenaran berada pada perkataan Abu Bakr daripada ‘Umar radliyallaahu
‘anhumaa dalam permasalahan memerangi orang yang tidak menunaikan zakat.
‘Umar sendiri mengakui dengan perkataannya:
شَرَحَ اللَّهُ صَدْرَ أَبِي بَكْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فَعَرَفْتُ، أَنَّهُ
الْحَقّ
demi Allah, tidaklah hal itu dikatakannya kecuali Allah telah melapangkan dada
Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu, lalu aku pun mengetahuinya bahwa apa yang
dikatakannya itu adalah kebenaran” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 1400].
Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang dikatakan sebagai manusia terbaik
sepeninggal beliau ﷺ
tidak memegang otoritas kebenaran dalam seluruh ijtihad mereka, tentu manusia
setelahnya lebih layak dikatakan demikian.
Mujaahid rahimahullah berkata :
يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ، وَيُتْرَكُ إِلا النَّبِيَّ ﷺ
ada seorang pun setelah Nabi ﷺ
dimana perkataannya dapat diambil dan ditinggalkan, kecuali Nabi ﷺ” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy dalam Juz’u
Raf’il-Yadain, hal. 153 no. 179; shahih].
karena itu, Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah mengatakan:
العلم أنه ليس على أحد ولا شرع له التزام قول شخص معين في كل ما يوجبه ويحرمه
ويبيحه إلا رسول الله ﷺ
pendapat/manhaj yang dipegang para imam yang empat dan seluruh ulama (yang
diakui) bahwa tidak wajib dan tidak pula disyari’atkan bagi seseorang untuk
menetapi pendapat ulama tertentu dalam semua yang diwajibkan,
diharamkan, dan dibolehkannya; selain daripada Rasulullah ﷺ…” [Al-Fataawaa Al-Kubraa, 3/328].
رسول الله ﷺ الذي لا ينطق عن الهوى إن هو إلا وحي يوحى فهو الذي يجب تصديقه في كل
ما أخبر وطاعته في كل ما أمر وليست هذه المنزلة لغيره من الأئمة بل كل أحد من
الناس يؤخذ من قوله ويترك إلا رسول الله فمن جعل شخصا من الأشخاص غير رسول الله من
أحبه ووافقه كان من أهل السنة والجماعة ومن خالفه كان من أهل البدعة والفرقة كما
يوجد ذلك في الطوائف من اتباع أئمة في الكلام في الدين وغير ذلك كان من أهل البدع
والضلال والتفرق
para pembela kebenaran dan sunnah (ahlul-haq was-sunnah) tidak mengikuti
seseorang kecuali Rasulullah ﷺ
yang : ‘beliau tidak berkata-kata dengan hawa nafsunya, ucapannya itu tiada
lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)’ (QS. An-Najm : 3-4).
Beliau ﷺ adalah orang yang wajib dibenarkan setiap
perkataannya dan wajib ditaati setiap perintahnya. Kedudukan ini tidaklah
dimiliki oleh orang selain beliau dari kalangan para imam. Bahkan setiap orang
dapat diambil dan dibuang perkataannya kecuali Rasulullah ﷺ. Barangsiapa yang menjadikan seseorang
selain Rasulullah ﷺ
dari kalangan orang yang mencintainya dan menyepakatinya sebagai Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah, dan orang-orang yang menyelisihinya sebagai Ahlul-Bida’ wal-Furqah
sebagaimana fenomena itu ditemui pada
sebagian kelompok yang yang mengikuti para imam dalam fatwa-fatwa agama dan
selainnya; maka ia lah yang justru termasuk Ahlul-Bida’ wadl-Dlalaal
wal-Furqah (penyeru kebid’ahan, kesesatan, dan perpecahan)” [Majmuu’
Al-Fataawaa, 3/346-347].
hendaknya seseorang berusaha mengikuti pendapat ulama dengan mengetahui dalil dan
pendalilannya semampunya. Allah ﷻ berfirman:
أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن
تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ
تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
orang-orang yang beriman! Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul, serta
ulil amri diantara kalian. Jika kalian berselisih dalam suatu hal, maka
kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika kalian benar-benar beriman
kepada Allah dan hari akhir.Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya” [QS. An-Nisaa’ : 59].
[QS. At-Taghaabun : 16].
pendapat ulama dengan dalilnya merupakan ittibaa’ sebagaimana
didefinisikan oleh sebagian ulama. Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata:
أبو داود: سمعته يقول: الاتباع أن يتبع الرجلُ ما جاء عن النبي ﷺ وعن أصحابه، ثم
هو مِن بعدُ في التابعين مخيَّر
(bin Hanbal) membedakan antara taqlid dan ittibaa’. Abu Daawud berkata :
‘Ittibaa’ adalah seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi ﷺ dan para sahabatnya. Kemudian pendapat
setelahnya dari kalangan taabi’iin boleh dipilih” [I’laamul-Muwaqqi’iin,
3/469. Lihat juga Masaailu Abi Daawud, hal. 276].
menjadi tingkatan kedua antara taqliid dan ijtihaad.
Adapun taqlid didefinisikan mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui
dalilnya [Mudzakkirah fii Ushuulil-Fiqh oleh Asy-Syinqiithiy].
kita bukan tergolong ulama – dan memang demikianlah keadaannya – , maka jadilah
awam berkualitas yang senantiasa mengedepankan prinsip ittibaa’, mengikuti
pendapat ulama dengan dalilnya.
‘Aun rahimahullah berkata:
الأَثَرَ، وَرَضِيَ بِهِ، وَإِنِ اسْتَثْقَلَهُ وَاسْتَبْطَأَهُ
Allah memberikan rahmat kepada seseorang yang tetap berpegang/berkomitmen pada
atsar ini dan ridla terhadapnya, meskipun terasa berat dan menghambatnya”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Baththah dalam Al-Ibaanah no. 291; sanadnya
shahih sesuai syarat syaikhain].
rahimahullah berkata:
من أخذ أقوالهم بغير حجة
sungguh para imam empat melarang taqlid kepada mereka
dan mencela orang yang mengambil pendapat mereka tanpa hujjah” [I’laamul-Muwaqqi’iin,
1/79].
dikatakan para ulama,
ولا يستدل بها
ulama dipakai untuk penyokong dalil, bukan untuk berdalil itu sendiri”.
setelah melihat dalil dan pendalilan perkataan ulama, maka ia berusaha untuk mentarjihnya
sesuai dengan kemampuannya, manakah yang lebih kuat menurutnya dan lebih
menentramkan hatinya untuk diikuti. Dalam hal ini, seorang muslim dengan ilmu
yang ia miliki (berapapun kadarnya), harus ia pergunakan untuk mengetahui
kebenaran semampunya.
jika tidak mampu, ia mentarjihnya dengan cara memilih ulama yang
menurutnya paling berilmu, paling bertaqwa, dan paling wara’ dalam
agamanya – dan kemudian mengambil pendapatnya untuk diamalkan/diikuti. Dan
dalam permasalahan agama secara umum, ia boleh mencukupkan diri untuk bertanya/meminta
fatwa kepada orang tersebut (yang paling ia percayai keilmuannya, amanahnya,
taqwanya, dan kewaraannya) dan kemudian beramal dengan fatwanya; sebagai
pengamalan firman Allah ﷻ
:
كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”
[QS. An-Nahl : 43].
rahimahullah mengatakan:
المقلِّدين، فكذلك أيضًا، لا فرق بين مصادفة المجتهدِ الدليلَ، ومصادفة العاميِّ
المفتيَ؛ فتعارُضُ الفتويَيْنِ عليه كتعارض الدليلينِ على المجتهد، فكما أن
المجتهد لا يجوز في حقه اتباعُ الدليلين معًا، ولا اتباع أحدهما من غير اجتهاد ولا
ترجيح، كذلك لا يجوز للعاميِّ اتباع المفتيَيْنِ معًا ولا أحدهما مِن غيرِ اجتهادٍ
ولا ترجيح
ikhtilaaf ulama yang dinisbatkan kepada para muqallid, maka demikian
juga, tidak ada perbedaan antara pertemuan mujtahid dengan dalil dan pertemuan
orang awam dengan mufti. Pertentangan dua fatwa bagi orang awam seperti halnya
pertentangan dua dalil bagi seorang mujtahid. Sebagaimana seorang mujtahid
tidak boleh mengikuti dua dalil (yang bertentangan) sekaligus dan tidak
mengikuti salah satunya tanpa ijtihad dan tarjih; begitu pula tidak
diperbolehkan bagi orang awam mengikuti (fatwa) dua orang mufti sekaligus dan
tidak memilih satu diantaranya tanpa ijtihad dan tarjih” [Al-Muwafaqaat,
5/77].
Al-Baghdaadiy rahimahullah membawakan riwayat:
الْحُسَيْنِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ خَلَفِ بْنُ بُخَيْتٍ
الْعُكْبَرِيُّ، أَخْبَرَنَا جَدِّي، قَالَ: قَالَ أَبُو عَبْدِ اللَّهِ
الزُّبَيْرُ بْنُ أَحْمَدَ الزُّبَيْرِيُّ: فَإِنْ قَالَ قَائِلٌ: فَكَيْفَ تَقُولُ
فِي الْمُسْتَفْتِي مِنَ الْعَامَّةِ إِذَا أَفْتَاهُ الرَّجُلانِ وَاخْتَلَفَا
فَهَلْ لَهُ التَّقْلِيدُ؟ قِيلَ لَهُ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ هَذَا عَلَى
وَجْهَيْنِ:
يَتَّسِعُ عَقْلُهُ، وَيَكْمُلُ فَهْمُهُ إِذَا عَقَلَ أَنْ يَعْقِلَ، وَإِذَا
فَهِمَ أَنْ يَفْهَمَ فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْأَلَ الْمُخْتَلِفِينَ عَنْ
مَذَاهِبِهِمْ عَنْ حُجَجِهِمْ، فَيَأْخُذُ بِأَرْجَحِهِمَا عِنْدَهُ،
هَذَا، وَفَهْمُهُ لا يَكْمُلُ لَهُ، وَسِعَهُ التَّقْلِيدُ لأَفْضَلِهِمَا
عِنْدَهُ وَقِيلَ: يَأْخُذُ بِقَوْلِ مَنْ شَاءَ مِنَ الْمُفْتِينَ، وَهُوَ
الْقَوْلُ الصَّحِيحُ ؛ لأَنَّهُ لَيْسَ مِنْ أَهْلِ الاجْتِهَادِ وَإِنَّمَا
عَلَيْهِ أَنْ يَرْجِعَ إِلَى قَوْلِ عَالِمٍ ثِقَةٍ، وَقَدْ فَعَلَ ذَلِكَ،
فَوَجَبَ أَنْ يكفيه
menceritakan kepada kami Abul-Hasan Ahmad bin Al-Husain bin Muhammad bin
‘Abdillah bin Khalaf bin Bukhait Al-‘Ukbariy : Telah mengkhabarkan kepada kami
kakekku, ia berkata : Telah berkata Abu ‘Abdillah Az-Zubair bin Ahmad
Az-Zubairiy : Apabila ada orang berkata : “Bagaimana pendapatmu tentang orang
yang meminta fatwa dari masyarakat awam, apabila ada dua orang ulama memberikan
fatwa kepadanya yang ternyata fatwa masing-masing berbeda. Apakah boleh baginya
taqlid ?”. Maka katakan kepadanya : InsyaAllah, dalam permasalahan ini ada 2
kondisi:
jika orang awam itu punya nalar yang cerdas dan sempurna pemahamannya, yang
seandainya ia berpikir (sesuatu) akan mengetahui, dan seandainya ia memahami
(sesuatu) akan paham; maka dirinya wajib untuk bertanya kepada orang lain
pendapat mereka dan hujjah mereka (tentang jawaban dua mufti tersebut), lalu ia
mengambil yang paling kuat (rajih) di antara keduanya.
apabila nalarnya tidak kurang dari ini, hanya saja dari segi pemahamannya ia
belum sempurna/memadai, maka boleh baginya untuk bertaqlid terhadap orang yang
lebih utama diantara dua mufti tersebut (menurutnya). Dikatakan : orang
tersebut bebas mengambil/memilih fatwa dua orang mufti itu. Ini (pun) pendapat
yang benar, karena ia bukan seorang ahli ijtihad (mujtahid). Yang wajib baginya
hanyalah mengembalikannya kepada pendapat seorang ‘alim yang terpercaya
(menurutnya), dan ia pun telah melakukannya sehingga itu telah mencukupi” [Al-Faqiih
wal-Mutafaqqih no. 1220].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
الأعلم الأروع ممن يمكنه إستفاؤه ومن هم من يقول بل يخير بين المفتين واذا كان له
نوع تمييز فقد قيل يتبع أى القولين أرجح عنده بحسب تمييزه فان هذا أولى من التخيير
المطلق وقيل لا يجتهد الا اذا صار من أهل الإجتهاد والأول اشبه فاذا ترجح عند
المستفتى أحد القولين إما لرجحان دليله بحسب تمييزه وأما لكون قائله أعلم وأروع
فله ذلك وان خالف قوله المذهب
tetapi diantara ulama ada yang berpendapat bahwa bagi orang yang meminta fatwa
agar bertaqlid kepada ulama yang dianggap paling berilmu dan wara’ yang paling
memungkinkan ia mintai fatwanya. Diantara mereka ada yang berpendapat, boleh
baginya untuk memilih manapun pendapat dari dua mufti/ulama tersebut. Namun
apabila orang tersebut memiliki kemampuan/kapasitas, maka dikatakan dirinya mengikuti
pendapat manapun yang paling rajih menurutnya sesuai dengan kemampuannya,
karena ini lebih baik daripada (pendapat yang menyatakan) memilih secara
mutlak. Dikatakan : seseorang tidak boleh berijtihad kecuali dirinya telah menjadi
ahli ijtihad. Namun pendapat pertama yang lebih benar. Maka apabila orang yang
meminta fatwa merajihkan salah satu diantara dua pendapat yang ada, baik karena
kekuatan dalilnya sesuai dengan yang ia pahami, atau karena ulama yang
menyatakannya ia anggap lebih berilmu dan lebih wara’; maka ia ambil pendapat
itu meskipun menyelisihi madzhab (yang ia pegang)” [Majmuu’ Al-Fataawaa,
33/168].
rahimahullah mempertimbangkan agar mengambil perkataan ulama yang paling
berilmu sebagai pendapat kelima, mengambil perkataan ulama yang paling wara’ sebagai
pendapat keenam, dan menambahkan pendapat ketujuh bahwa wajib bagi orang awam
untuk mempelajari dan membahas mana yang paling kuat sesuai kemampuannya; dan selanjutnya
beliau (Ibnul-Qayyim) rahimahullah merajihkan pendapat terakhir ini
dengan perkataannya:
الطبيبين، أو المشيرين
ia beramal sebagaimana ia beramal ketika terdapat perbedaan dua jalan, dua
dokter, atau dua penunjuk” [I’laamul-Muwaqqi’iin, 6/205].
Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimiin rahimahullah menjelaskan:
أن يقارن بين أقوال العلماء بالأدلة ، والترجيح بينها ، ومعرفة الأصح والأرجح وجب
عليه ذلك ، لأن الله تعالى أمر برد المسائل المتنازع فيها إلى الكتاب والسنة ،
فقال : (فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ
إِنْ كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ) النساء/59. فيرد
المسائل المختلف فيها للكتاب والسنة ، فما ظهر له رجحانه بالدليل أخذ به ، لأن
الواجب هو اتباع الدليل ، وأقوال العلماء يستعان بها على فهم الأدلة
يستطيع به الترجيح بين أقوال العلماء ، فهذا عليه أن يسأل أهل العلم الذين يوثق
بعلمهم ودينهم ويعمل بما يفتونه به ، قال الله تعالى : ( فَاسْأَلُوا أَهْلَ
الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ ) الأنبياء/43 . وقد نص العلماء على أن
مذهب العامي مذهب مفتيه
seorang muslim memiliki ilmu untuk membandingkan pendapat para ulama dengan
dalil-dalilnya, mentarjihnya, serta mengetahui mana yang lebih shahih dan lebih
kuat, wajib baginya untuk melakukannya. Karena Allah ta’ala memerintahkan
untuk mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan padanya kepada Al-Qur’an
dan As-Sunnah. Allah ﷻ
berfirman : ‘Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian” (QS. An-Nisaa’ : 59). Maka
ia mengembalikan permasalahan yang diperselisihkan padanya kepada Al-Qur’an dan
As-Sunnah. Apa yang nampak baginya lebih kuat berdasarkan dalil, ia ambil
pendapat tersebut. Karena wajib baginya untuk mengikuti dalil, sedangkan
pendapat ulama dipergunakan untuk memahami dalil.
jika seorang muslim tidak memiliki ilmu yang dengannya ia mampu melakukan
tarjih diantara pendapat para ulama, dalam hal ini wajib baginya bertanya
kepada ulama yang ia percayai keilmuannya dan agamanya, lalu ia mengamalkan
fatwanya. Allah ta’ala berfirman : ‘Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui” [QS. An-Nahl :
43]. Dan ulama telah menegaskan bahwa madzhab orang awam adalah madzhab
orang/mufti yang memberikan fatwa kepadanya” [Al-Ikhtilaafu bainal-‘Ulamaa, Asbaabuhu
wa Mauqifuna minhu, hal. 23].
Sulaimaan Maajid hafidhahullah berkata saat menyimpulan permasalahan
sikap orang awam menghadapi perbedaan pendapat di kalangan ulama:
ابن تيمية، وتلميذه ابن القيم، وهو أن العامي إذا اختلفت عليه الفتوى، فإنه يجتهد
حسب تمييزه، ويتقي الله حسب استطاعته، فإن ترجح له قول أحد المفتين لكونه الأعلم
الأورع، أخذ بفتواه. فإن استويا في العلم والورع، أو شق عليه معرفة الأعلم منهما،
ولكن ما استدل به أحدهما أقوى في الحجة وظهور الدليل مما استدل به الآخر، أخذ به،
أو كانت نفسه تسكن لفتيا أحدهما، ويطمئن لها قلبه، دون فتيا الآخر، أخذ بهذا
المرجح، وكذا لو ترجح له قول أحدهما، لكثرة من أفتى به من أهل العلم، أخذ به
yang rajih adalah pendapat yang dipegang Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah dan
muridnya, Ibnul-Qayyim. Yaitu, orang awam apabila menghadapi perselisihan dua
fatwa, maka ia berusaha (memilih pendapat yang paling kuat) sesuai kapasitasnya
dan bertaqwa kepada Allah sesuai kemampuannya pula. Apabila ia merajihkan
pendapat salah seorang mufti/ulama berdasarkan pertimbangan ulama tersebut
dianggap paling berilmu dan paling wara’, maka ia ambil fatwanya. Namun apabila
keduanya sama dalam ilmu dan kewara’annya; atau dirinya merasa kesulitan untuk
mengetahui mana yang lebih berilmu dari keduanya, namun hujjah dan penampakan
dalil salah satu mufti/ulama lebih kuat daripada yang lain, maka ia ambil
pendapat tersebut. Atau dirinya lebih mantap dan hatinya lebih tenang dengan
salah satu fatwa mufti tersebut, maka ia ambil pendapat yang dianggapnya lebih
kuat tersebut. Begitu juga seandainya ia merajihkan pendapat salah satu
diantara mufti dikarenakan banyaknya ulama yang berfatwa serupa, ia ambil pendapat
tersebut” [sumber : https://www.salmajed.com/node/11092].
perkataan para ulama di atas satu, tarjih seseorang akan berbeda-beda sesuai
dengan kemampuannya,
dan banyak faktor yang melatarbelakangi. Sebagai penuntut ilmu – atau orang
awam – , tentu kita dapat merasakannya. Kadang penuntut ilmu melakukan penelaahan dalam sebagian permasalahan dengan dalilnya, namun tidak pada permasalahan yang lain
sehingga ia langsung mengambil pendapat ulama yang paling ia percayai dalam hal
tersebut. Ada juga orang yang benar-benar awam tidak memiliki ilmu sehingga ia
hanya mengambil fatwa orang yang ia mintai fatwa dan beramal dengannya.
haram hukumnya apabila seseorang telah mengetahui kebenaran ada pada diri
seorang ulama karena hujjah/dalil yang dibawakannya, namun ia meninggalkannya dengan
mengambil pendapat ulama lain yang lebih ia idolai. Ini adalah fanatik yang
sangat tercela.
إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ
أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang
mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada
bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa
mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang
nyata” [QS. Al-Ahzaab : 36].
menukil perkataan Asy-Syaafi’iy rahimahumallah:
وقد ثبت الحديث على خلافه، ومنعه التقليد عن العمل بالسنة، فقد اتخذ من قلَّده
ربًّا من دون الله تعالى، يحل له ما حرم الله، ويحرم عليه ما أحل الله
yang bertaqlid kepada seseorang dalam pengharaman atau penghalalan sesuatu,
dimana ia mengetahui ada hadits menyelisihinya, sehingga sikap taqlid itu
menghalanginya untuk beramal sesuai dengan sunnah; sungguh ia telah mengambil
orang yang ditaqlidinya itu sebagai Rabb selain Allah ta’ala, yang menghalalkan
apa yang diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang dihalalkan Allah” [Hadiyyatu
Sulthaan, hal. 69 – https://al-maktaba.org/book/33062/45].
أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ وَالْمَسِيحَ ابْنَ مَرْيَمَ وَمَا أُمِرُوا إِلَّا
لِيَعْبُدُوا إِلَٰهًا وَاحِدًا ۖ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ سُبْحَانَهُ عَمَّا
يُشْرِكُونَ
menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain
Allah, dan (juga mereka menjadikan Rabb ) Al-Masih putera Maryam; padahal
mereka hanya disuruh beribadah kepada Ilah Yang Maha Esa; tidak ada Ilah (yang
berhak diibadahi) selain Dia. Maha suci Allah dari apa yang mereka persekutukan”
[QS. At-Taubah : 31].
bin Yamaan radliyallaahu ‘anhu pernah ditanya tentang ayat ini : “Apakah
mereka (orang-orang Nashara) menyembah (shalat) kepada mereka (para
pendeta/rahib) ?. Ia (Hudzaifah menjawab:
لَهُمْ مَا حُرِّمَ عَلَيْهِمْ، فَيَسْتَحِلُّونَهُ، وَيُحَرِّمُونَ عَلَيْهِمْ
مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَهُمْ، فَيُحَرِّمُونَهُ، فَصَارُوا بِذَلِكَ أَرْبَابًا
akan tetapi mereka (para pendeta/rahib) menghalalkan apa yang diharamkan Allah
atas mereka, dan kemudian orang-orang Nashara itu juga menghalalkannya. Dan
mereka (para pendeta/rahib) mengharamkan apa yang dihalalkan Allah atas mereka,
dan kemudian orang-orang Nashara itu juga mengharamkannya. Maka dengan sebab
itu para pendeta/rahib itu seperti rabb-rabb (bagi orang Nashara)” [Diriwayatkan
oleh Al-Khallaal dalam As-Sunnah no. 1325, ‘Abdurrazzaaq dalam Tafsiir-nya
no. 1073, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa, 10/116 no. 20351 dan dalam Al-Madkhal
no. 258-259; shahih].
Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
سأله الله عن مخالفة أحد فإن من يطيع أو يطاع إنما يطاع تبعا للرسول
seorang hamba menyelisihi seluruh manusia (di muka bumi) namun ia mengikuti
Rasul ﷺ, maka Allah tidak akan bertanya tentang penyelisihannya
terhadap seseorang. Karena sesungguhnya siapa saja yang mentaati atau ditaati,
maka orang tersebut ditaati karena mengikuti Rasul ﷺ” [Majmuu’ Al-Fataawaa,
16/529].
– 27012020].
يَزِيْدِ بْنِ عُمَيْرَةَ وَكَانَ مِنْ أَصْحَابِ مُعَاذِ بْنِ جَبَلٍ، قَالَ:
” كَانَ لَا يَجْلِسُ مَجْلِسًا لِلذِّكْرِ حِينَ يَجْلِسُ، إِلَّا قَالَ:
اللَّهُ حَكَمٌ قِسْطٌ هَلَكَ الْمُرْتَابُونَ، فَقَالَ مُعَاذُ بْنُ جَبَلٍ
يَوْمًا إِنَّ مِنْ وَرَائِكُمْ فِتَنًا يَكْثُرُ فِيهَا الْمَالُ وَيُفْتَحُ
فِيهَا الْقُرْآنُ حَتَّى يَأْخُذَهُ الْمُؤْمِنُ وَالْمُنَافِقُ وَالرَّجُلُ
وَالْمَرْأَةُ وَالصَّغِيرُ وَالْكَبِيرُ وَالْعَبْدُ وَالْحُرُّ، فَيُوشِكُ
قَائِلٌ أَنْ يَقُولَ: مَا لِلنَّاسِ لَا يَتَّبِعُونِي وَقَدْ قَرَأْتُ
الْقُرْآنَ مَا هُمْ بِمُتَّبِعِيَّ حَتَّى أَبْتَدِعَ لَهُمْ غَيْرَهُ،
فَإِيَّاكُمْ وَمَا ابْتُدِعَ فَإِنَّ مَا ابْتُدِعَ ضَلَالَةٌ، وَأُحَذِّرُكُمْ
زَيْغَةَ الْحَكِيمِ فَإِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلَالَةِ
عَلَى لِسَانِ الْحَكِيمِ، وَقَدْ يَقُولُ الْمُنَافِقُ كَلِمَةَ الْحَقِّ، قَالَ:
قُلْتُ لِمُعَاذٍ: مَا يُدْرِينِي رَحِمَكَ اللَّهُ؟ أَنَّ الْحَكِيمَ قَدْ
يَقُولُ كَلِمَةَ الضَّلَالَةِ وَأَنَّ الْمُنَافِقَ قَدْ يَقُولُ كَلِمَةَ
الْحَقِّ، قَالَ: بَلَى اجْتَنِبْ مِنْ كَلَامِ الْحَكِيمِ الْمُشْتَهِرَاتِ
الَّتِي يُقَالُ لَهَا مَا هَذِهِ، وَلَا يُثْنِيَنَّكَ ذَلِكَ عَنْهُ فَإِنَّهُ لَعَلَّهُ
أَنْ يُرَاجِعَ، وَتَلَقَّ الْحَقَّ إِذَا سَمِعْتَهُ فَإِنَّ عَلَى الْحَقِّ
نُورًا “
مَا تَشَابَهَ عَلَيْكَ مِنْ قَوْلِ الْحَكِيمِ حَتَّى تَقُولَ مَا أَرَادَ
بِهَذِهِ الْكَلِمَة
دراسة علم الأصول ليست خاصة بالمجتهد، بل يستفيد منها طالب العلم في الترجيح
وإدراك القول الراجح بناء على ما عرف من قواعد أصولية فليست خاصة بالمجتهد
ندعي أنه يجب على كافة العاقلين وعامَّة المسلمين شرقًا وغربًا بعدًا وقربًا
انتحال مذهب الشافعي، ويجب على العوام الطغام والجهال الأنذال أيضًا انتحال مذهبه،
بحيث لا يبغون عنه حِوَلًا، ولا يريدون به بدَلًا
bagi seluruh orang-orang yang berakal dan kebanyakan kaum muslimin, baik
di timur dan di barat, jauh dan dekat, untuk menganut madzhab Asy-Syaafi’iy.
Dan wajib bagi orang-orang awam biasa dan orang-orang yang bodoh untuk
menganut madzhabnya (Asy-Syaafi’iy), dan sekiranya mereka tidak mencari yang
lain” [Mughiitsul-Khalq, hal. 16].
Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata:
بأن قول الشافعي أخطأ في مسألة كذا إهانة للشافعي القرشي وإهانة قريش غير جائزة
فوجب ألا يجوز القول بتخطئته في شيء من المسائل
perkataan Asy-Syaafi’iy dalam satu permasalahan keliru merupakan penghinaan
terhadap Asy-Syaafi’iy Al-Qurasyiy, sedangkan penghinaan terhadap Quraisy tidak
boleh. Maka wajib untuk tidak membolehkan perkataan yang menyalahkan beliau
dalam permasalahan-permasalahan sedikitpun” [Al-Imaam Asy-Syaafi’iy wa
Manaaqibuhu, hal. 219].
Al-Maalikiy rahimahullah menukil:
قال بعض المشائخ: إن الإمام لمن التزم تقليد مذهبه كالنبي عليه السلام مع أمته،
ولا يحل له مخالفته
madzhabnya seperti Nabi ‘alaihis-salaam terhadap umatnya. Tidak halal
baginya untuk menyelisihinya” [Tartiibul-Madaarik, 1/16. Disebutkan juga
oleh Adz-Dzahabiy dalam As-Siyar, 8/90].
hanya contoh. Rahimhumullah…..