
bukan dlabb, akan tetapi biawak (Varanus sp.). Bahasa Arabnya
‘waral’ (الْوَرَل). Para ulama berbeda pendapat tentang
status kehalalannya. ‘Abdurrazzaaq Ash-Shan’aaniy rahimahullah berkata:
بْنِ الْمُسَيِّبِ، قَالَ: أَخْبَرَنِي يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ، قَالَ: كُنْتُ
عِنْدَ ابْنِ الْمُسَيِّبِ فَجَاءَهُ رَجُلٌ مِنْ غَطَفَانَ، فَسَأَلَهُ عَنْ
أَكْلِ الْوَرَلِ، فَقَالَ: لا بَأْسَ بِهِ، وَإِنْ كَانَ مَعَكُمْ مِنْهُ شَيْءٌ
فَأَطْعِمُونَا “، قَالَ عَبْدُ الرَّزَّاقِ: الْوَرَلُ: شَبَهُ الضَّبَّ
Telah
mengkhabarkan kepada kami seorang laki-laki anak dari Sa’iid bin Al-Musayyib,
ia berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Yahyaa bin Sa’iid, ia berkata :
“Aku pernah berada di sisi Ibnul-Musayyib. Lalu datang seorang laki-laki
dari Ghathafaan yang bertanya tentang hukum makan biawak. Ia (Sa’iid bin
Al-Musayyib) menjawab : ‘Tidak mengapa. Apabila kalian mempunyai daging biawak
itu, berilah kami makan (dengannya)”. ‘Abdurrazzaaq berkata : “Ia serupa
dengan dlabb” [Al-Mushannaf no. 8747].
riwayat perkataan Ibnul-Musayyib ini tidak shahih karena mubhamnya anak
Ibnul-Musayyib. Akan tetapi, ‘Abdurrazzaaq menyerupakan biawak dengan dlabb
yang berstatus halal.
rahimahullah menukil:
الورل
(bin Anas) berkata : ‘Tidak mengapa makan dlabb, jerboa (yarbuu’),
dan biawak” [Tafsiir Al-Qurthubiy, 7/102].
ulama lain mengharamkannya karena termasuk jenis hasyaraat. Begitulah
yang dikatakan Ad-Damiiriy rahimahullah dalam Hayaatul-Hayawaan,
2/542. Sebagian kalangan muta’akhkhirin Hanabilah dan Syaafi’iyyah juga
turut mengharamkannya.
saya sendiri, condong pada pendapat yang mengharamkannya karena termasuk
kategori hasyaraat. Biawak memakan hewan-hewan kecil seperti serangga, tikus,
cicak, anak burung, dan juga bangkainya yang telah busuk.
a’lam bish-shawwaab.
– 16 Rabi’uts-Tsani 1441].